REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Meskipun keduanya berbagi keyakinan Islam yang sama, mereka memiliki perbedaan dalam beberapa aspek pemahaman, fokus kegiatan, dan pendekatan sosial-politik. Perbedaan yang sering mencuat adalah perbedaan Idul Fitri atau Idul Adha.
Perbedaan antara kedua organisasi ini juga terjadi dalam fikih. Sementara, praktik amaliyah fikih sangat rentan menimbukan perselisihan. Bahkan, perselisihan tersebut bisa menyulut emosi negatif yang berbuntut pada perpecahan.
Namun, jika masyarakat secara total telah menyadari perbedaan pandangan fikih merupakan suatu yang niscaya, maka perpecahan di antara sesama umat Islam dapat lebih dihindari. Sementara, Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan.
Bahkan, seperti dinukil dari buku Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhammadiyah karya M Yusuf Amin Nugroho, pernah suatu ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Alquran agar menghentikan bacaaanya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Dari Jundab bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: “Bacalah Alquran selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian. Tapi, bila kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Maka itu, NU dan Muhammadiyah tentu harus lebih berhati-hati dengan segala isu, termasuk isu-isu seputar perbedaan pandangan fikih, jangan sampai ikhtilaf dalam masalah fikih tersebut merusak persatuan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Beberapa Cara Menyikapi Perbedaan Muhammadiyah dan NU
1. Memahami perbedaan pemahaman
Muhammadiyah cenderung mengadopsi pendekatan yang lebih puritan dalam Islam, dengan penekanan pada aspek keagamaan yang kuat, reformis, dan modernis. Sementara itu, NU cenderung mengedepankan tradisi keagamaan, keberagaman budaya lokal, dan pendekatan yang lebih inklusif terhadap praktik-praktik keagamaan. Penting untuk memahami perbedaan pendekatan ini untuk menghargai keragaman dalam Islam.