REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Kota Bogor beberapa hari lalu dihebohkan dengan persidangan perkara yang melibatkan Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama. Dalam sidang itu, majelis hakim menghadirkan sejumlah saksi.
Para saksi yang merupakan pengelola atau pihak dalam koperasi menyebutkan komitmennya untuk mengembalikan uang anggota. Kemudian muncul pertanyaan, apakah perkara tersebut disebut penggalapan dan pencucian uang?
Pakar pidana Dr Chairul Huda menilai kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (KSP-SB) kepada anggotanya bukanlah penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pernyataan Dr Chairul Huda yang juga Penasihat Ahli Kapolri Bidang Hukum Pidana itu, disampaikan saat dimintai ketarangannya sebagai saksi ahli dalam kasus KSP SB di Pengadilan Negeri Bogor, dengan terdakwa Ketua Pengawas KSP SB Iwan Setiawan dan Anggota Pengawas Dang Zeany.
Dari notulen sidang yang dikutip pada Selasa (13/6/2023), DR ,Chairul Huda menjelaskan, bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah bentuk kejahatan dimana terjadi karena adanya tindak kejahatan.
Namun, ketika koperasi membeli aset apalagi aset atas nama perusahaan koperasi itu sendiri, membayar remunerasi, membayar gaji dan operasional itu bukan tindak kejahatan untuk menyamarkan, menyembunyikan dan lain-lain, karena telah disepakati di RAT. "Itu bukan penggelapan dan TPPU," tegas dia.
Dr Chairul Huda yang juga dosen FH Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini menegaskan, bahwa UU Perbankan dan UU Perkoperasian itu jelas berbeda. Kalau Bank menghimpun dana masyarakat dengan ijin BI dan OJK dan jika tidak ada ijin maka itu bank gelap dan melanggar UU Perbankan.
Sedangkan koperasi kata dia, adalah lembaga keuangan non Bank dan tidak tunduk pada UU Perbankan. Sebab menghimpun dana anggota dan ijin dari Kemenkop dengan prinsif prinsip perkoperasian yang di dalamnya ada RAT sebagai kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
"Jika dalam putusan RAT salah satunya tidak LP maka putusan itu adalah sebuah kesepakatan tidak ada hak dia untuk LP , tidak ada legalstanding," jelasnya.
Masih kata Chairul Huda, mengenai dugaan penipuan dari marketing yang menawarkan produk sesuai dengan Company Profile, SOP dan peraturan perusahaan, disitu jelas ada usahanya ada penghargaan dan lain-lain lalu gagal bayar itu bukan tindak pidana melainkan Wan Prestasi (cedera janji) baik itu sebagian, sepenuhnya atau terlambat.
"Penipuan itu mengandung unsur unsur nama palsu atau keadaan palsu, tipu muslihat, karangan perkataan bohong, contoh marketing menyampaikan ada usaha pinjaman, ada usaha PT dan sebagainya, tapi kenyataanya tidak ada maka itulah penipuan," jelasnya.
Sedangkan mengenai tindakan melanggar AD/ART terkait semenda dalam Koperasi adalah tindakan pelanggaran administrasi. "Tentunya jika ada sanksi ya dari kementrian koperasi berupa peringatan, atau bahkan pencabutan ijin bukan masalah pidana," tuturnya.
Dosen kelahiran 28 Oktober 1970 itu juga menjelaskan, bahwa bukti adanya RAT sebagai mana standar 2 alat bukti dalam acara KUHP yaitu adanya surat / berita acara RAT dan saksi saksi yang mengikuti RAT seperti anggota, PP, regulator, pimpinan sidang, sehingga ada tidak adanya RAT menjadi penting dalam koperasi sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi.
Tindak pidana tidak harus ada korban, ada tidak adanya korban bukan menjadi sebuah ukuran tindak pidana. Menyembunyikan dalam tindak pidana yang dimaksud adalah hasil tindak pidana, bukan berati pula sesuatu yang tidak jelas itu berarti menyembunyikan.
"Restorative Justice adalah upaya penyelesaian tindak pidana yang diputus hakim berdasarkan kesepakatan antara pelaku dan korban. Dalam TPPU harta yang dirampas adalah kekayaan hasil tindak pidana yang di transaksikan bukan harta yang di sita," ujar dia.
Seperti diketahui dalam perkara tersebut JPU Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor mendakwa Ketua Pengawas KSP SB Iwan Setiawan dan Anggota Pengawas Dang Zeany melakukan penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).