REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Majelis rendah parlemen Jepang pada Selasa (13/6/2023) meloloskan RUU untuk mempromosikan pemahaman tentang isu-isu LGBTQ+. Langkah ini berlangsung tengah protes para aktivis bahwa revisi oleh partai konservatif mendukung penentang kesetaraan seksual ketimbang menjamin persamaan hak.
RUU tersebut diharapkan akan segera disetujui oleh majelis tinggi parlemen, yang mayoritas dikendalikan koalisi pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida. Jepang adalah satu-satunya anggota Kelompok Tujuh (G7) yang tidak memiliki perlindungan hukum LGTBQ+.
Dukungan untuk pernikahan sesama jenis dan hak-hak lainnya telah berkembang di kalangan masyarakat Jepang. Tetapi oposisi di dalam Partai Demokrat Liberal yang berkuasa menentangnya. Mereka yang dikenal dengan nilai-nilai konservatif dan keengganan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan keragaman seksual.
Aktivis LGBTQ+ telah meningkatkan upaya mereka untuk mencapai undang-undang anti-diskriminasi. Upaya ini berlangsung sejak seorang mantan pembantu Kishida mengatakan bahwa dia tidak ingin tinggal di sebelah orang-orang LGBTQ+, dan warga negara akan meninggalkan Jepang jika pernikahan sesama jenis diizinkan.
Versi terakhir dari RUU yang disahkan pada Selasa menyatakan bahwa diskriminasi yang tidak adil tidak dapat diterima. Tetapi RUU itu tidak secara jelas melarang diskriminasi, karena beberapa anggota parlemen partai yang berkuasa menentang hak-hak transgender. Beberapa anggota partai mengatakan, diperlukan lebih banyak pembangunan konsensus sebelum langkah-langkah anti-diskriminasi diperkenalkan.
RUU tersebut menyatakan, pemahaman publik tentang berbagai orientasi seksual dan identitas gender belum tentu cukup. Harus ada kondisi yang dibangun agar semua warga negara dapat hidup dengan ketenangan pikiran. Menurut para kritikus, hal ini menunjukkan bahwa partai yang berkuasa memprioritaskan keprihatinan para penentang persamaan hak atas hak-hak minoritas seksual.
“Kami telah meminta pemberlakuan undang-undang anti-diskriminasi. RUU ini tidak fokus pada orang-orang yang bersangkutan, tetapi justru fokus pada pihak yang mendiskriminasi kita dan menyebabkan penderitaan kita. Ini benar-benar kebalikan dari apa yang kita butuhkan," ujar Aliansi Jepang untuk Legislasi LGBTQ+.
Direktur Jepang untuk kelompok Human Rights Watch yang berbasis di New York, Kanae Doi mengatakan, undang-undang tersebut gagal memenuhi standar internasional anti-diskriminasi. Selain itu, hak asasi manusia tidak boleh dikompromikan dengan pertimbangan mayoritas.
Dalam konferensi pers pada Selasa malam, Kishida mengatakan, dia berharap diskusi lebih lanjut di parlemen akan mendorong dukungan yang lebih luas untuk undang-undang tersebut. “Pemerintah akan terus mendengarkan suara rakyat dan bekerja keras untuk mencapai masyarakat di mana keragaman dihormati dan di mana setiap orang menghargai hak asasi manusia dan martabat satu sama lain dan di mana mereka menikmati kehidupan yang dinamis,” kata Kishida.
Kishida juga mengatakan, kabinetnya berencana untuk menyusun paket ekonomi akhir tahun ini yang akan menggandakan anggaran untuk subsidi bagi anak-anak dan pasangan suami istri. Langkah ini bertujuan untuk mendorong tingkat kelahiran yang menurun pada tahun 2030-an.
Para ahli mengatakan, insentif itu tidak mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh pemuda Jepang yang semakin tidak memiliki keinginan untuk menikah atau berkeluarga. Para pemuda Jepang putus asa dengan prospek pekerjaan yang suram, jam kerja yang panjang dan kurangnya fleksibilitas kerja.
Survei terbaru menunjukkan mayoritas orang Jepang kembali melegalkan pernikahan sesama jenis dan perlindungan lainnya. Dukungan di antara komunitas bisnis telah meningkat pesat. Kishida bersikeras bahwa pandangan publik tentang pernikahan sesama jenis berbeda-beda, dan itu adalah masalah yang akan berdampak luas pada orang-orang jika sistem hukum dibuat.
“Makanya diskusi yang luas dan pemahaman yang luas itu penting,” ujar Kishida.
Sebuah pengadilan di Fukuoka di Jepang selatan memutuskan, kurangnya perlindungan hukum bagi orang-orang LGTBQ+ tampaknya tidak konstitusional. Itu adalah kasus terakhir dari lima kasus pengadilan yang diajukan oleh 14 pasangan sesama jenis pada 2019 yang menuduh pemerintah melanggar kesetaraan mereka. Empat kasus dari pengadilan memutuskan bahwa kebijakan pemerintah saat ini tidak konstitusional atau hampir tidak konstitusional. Sementara kasus yang kelima mengatakan larangan pernikahan sesama jenis adalah konstitusional.