REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini memprediksi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan yang meminta pemilu dengan sistem proporsional terbuka diganti menjadi sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Titi meyakini, MK akan menolak permohonan tersebut, tapi "tidak akan memberikan cek kosong".
Titi mengatakan, prediksinya ini berdasarkan fakta persidangan perkara tersebut serta kajian konstitusi, pemilu dan demokrasi. Titi memang sempat menjadi ahli dari Pihak Terkait dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 ini.
"Menurut saya, MK akan menolak permohonan nomor 114 ini dan menempatkan pilihan sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang," kata Titi lewat kanal Youtube pribadinya, Rabu (14/6/2023), tepat sehari sebelum MK membacakan putusan.
Titi menjelaskan, MK akan memutuskan menolak karena penggunaan sistem proporsional terbuka sebagaimana termaktub dalam Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak melanggar satu pun norma dalam UUD 1945. Sebab, UUD 1945 memang tidak menentukan sistem apa yang harus digunakan dalam pemilihan legislatif.
UUD 1945, kata dia, hanya menyatakan bahwa peserta pemilihan legislatif (DPR dan DPRD) adalah partai politik. Kendati begitu, bukan berarti sistem pemilihan yang konsititusional adalah proporsional tertutup. Sebab, dalam sistem lain pesertanya juga adalah partai politik.
"Dengan demikian, tidak ada isu konstitusionalitasnya terkait norma yang mengatur sistem pemilu, karena UUD sendiri tidak mengatur pilihan sistem pemilu secara spesifik," kata Titi. Karena itu pula, penentuan sistem pemilu merupakan kewenangan penuh lembaga pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).
Meski memprediksi MK akan menolak gugatan tersebut, Titi yakin hakim konstitusi "tidak akan memberikan cek kosong". Dia yakin MK akan memberikan sejumlah rambu-rambu yang harus jadi acuan lembaga pembentuk undang-undang ketika hendak memilih sistem pemilu. Putusan dengan memberikan rambu-rambu ini serupa dengan putusan MK atas gugatan terkait model keserentakan pemilu.
Pembina pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu menuturkan, rambu-rambu yang kemungkinan diberikan MK adalah mengharuskan lembaga pembentuk undang-undang memilih sistem jauh sebelum gelaran pemilu, jangan secara tergesa-gesa. Penentuan dan perumusan sistem pemilu itu juga harus membuka ruang kepada publik untuk berpartisipasi secara bermakna.
Kemungkinan, lanjut dia, MK juga akan meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan simulasi terlebih dahulu sebelum memutuskan sistem pemilu yang akan digunakan. Simulasi perlu dilakukan untuk melihat dampak sebuah sistem pemilu terhadap aspek penegakan hukum, manajemen pemilu, aktor pemilu, kemudahan penyelenggaraan pemilu, dan kemudahan bagi pemilih mencoblos.
MK akan membacakan putusan atas perkara ini pada Kamis (15/6/2023) pagi. Permohonan uji materi ini diajukan oleh kader PDIP, Demas Brian Wicaksono, beserta lima koleganya.
Gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini membuat dunia politik-hukum heboh sejak akhir 2022 lalu. Muncul kelompok pendukung sistem proporsional terbuka maupun tertutup.
"Pengucapan putusan Kamis tanggal 15 Juni jamnya jam 9.30 WIB di ruang sidang pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono, Senin (12/6/2023).
Delapan partai parlemen, yakni Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP diketahui sudah berulang kali menyatakan menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024. Satu-satunya partai parlemen yang mendukung sistem tersebut adalah PDIP
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan adalah calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut teratas. Sistem yang bertumpu kepada partai ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg maupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem yang menitikberatkan personal caleg ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.
Pakar politik punya pandangan beragam terkait sistem mana yang paling tepat digunakan untuk pemilu di Indonesia ke depan. Sebagian menilai sistem proporsional terbuka yang cocok. Sebagian lain menilai sistem proporsional tertutup yang baik. Ada pula yang menilai sistem proporsional tertutup yang tepat asalkan internal partai politik diperbaiki terlebih dahulu.