REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan gugatan atas UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu Proporsional Terbuka. Pengamat politik, Musni Umar, menolak keras perubahan sistem dari terbuka ke tertutup.
Ia mengatakan, ini masalah serius karena kalau bicara pemilihan umum sejatinya yang berdaulat itu rakyat dan yang berkuasa itu rakyat. Hal ini akan berubah jika dalam pemilu rakyat hanya memilih partai politik.
Jika itu terjadi, hakikatnya kedaulatan, kekuasaan rakyat, diserahkan kepada partai politik, bukan diserahkan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Bahkan, berpotensi melanggengkan dinasti politik terjadi.
Apalagi, partai politik di Indonesia didirikan oleh pimpinan parpol yang akan bisa mereka memilih anak, saudara mereka menduduki posisi penting. Termasuk, menentukan siapa yang menduduki bangku di DPR RI dan DPRD.
"Jadi, akan semakin menyuburkan dinasti politik, korupsi, kolusi dan nepotisme. Sudah pasti karena yang berkuasa di partai politik bukan lagi rakyat, tapi pimpinan partai politik, dalam hal ini ketua umum parpol," kata Musni, Rabu (14/6).
Ia melihat, proporsional tertutup akan menghilangkan persaingan caleg dalam berusaha untuk dipilih rakyat. Banyak yang mengundurkan diri atau tidak maksimal datangi rakyat karena yang menentukan bukan lagi rakyat.
Kemudian, dominasi parpol akan semakin luar biasa, orang akan melakukan apapun untuk dekat dengan pimpinan partai politik. Politik uang bisa semakin merajalela, bukan kepada rakyat tapi kepada pimpinan parpol.
Musni menambahkan, proporsional tertutup dapat pula merusak demokrasi. Sebab, kedaulatan yang berada di tangan rakyat melalui pemilihan umum direnggut karena penentu wakil rakyat mutlak pimpinan partai politik.
"Kita menolak keras putusan MK kalau sampai pemilu diputuskan sebagai proporsional tertutup karena ini akan mengubur, menghabisi kedaulatan rakyat. Sekarang saja sudah dikuasai pimpinan parpol, oligarki parpol," ujar Musni.