REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyumas berhasil mengungkap kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang melibatkan tiga orang tersangka.
"Kasus ini terungkap berkat informasi yang kami terima pada Kamis (1/6) bahwa telah terjadi dugaan TPPO di rumah seorang perempuan berinisial P (63)," kata Kapolresta Banyumas Komisaris Besar Polisi Edy Suranta Sitepu didampingi Kepala Satreskrim Komisaris Polisi Agus Supriadi Siswanto di Mapolresta Banyumas, Purwokerto, Kabupaten Banyumas.
Konferensi pers tersebut dihadiri Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Jateng Pujiono serta Kepala Dinas Tenaga Kerja Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dinnakerkop UKM) Banyumas Wahyu Dewanto.
Ia mengatakan setelah menerima informasi tersebut, petugas Satreskrim Polresta Banyumas segera mendatangi rumah P di Desa Tambaksogra, Kecamatan Sumbang, Banyumas.
Di rumah yang dijadikan sebagai balai latihan kerja dengan nama Yayasan Isra Ardhi Amalia yang diketuai P itu, petugas mendapati 11 perempuan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang sedang melakukan pelatihan.
Setelah dilakukan pendataan dan wawancara terhadap para CPMI itu, diketahui ada salah seorang CPMI berinisial DW, warga Sokaraja, yang pernah diberangkatkan ke Malaysia oleh tersangka P dan TTH (61), warga Jakarta.
Dalam hal ini, TTH merupakan penyandang dana yang telah membayarkan uang muka proses CPMI sebesar Rp 7.500.000 kepada tersangka P selaku perekrut dan tersangka S (52) yang berperan menjemput serta mengantarkan CPMI dari Banyumas ke Jakarta.
"Setelah dilakukan pengecekan, ternyata saksi korban berinisial DW itu diduga diberangkatkan ke Malaysia sebagai PMI tanpa dokumen persyaratan yang lengkap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata kapolresta.
Bahkan, kata dia, DW ditempatkan tidak sesuai dengan pekerjaan yang dijanjikan oleh tersangka P berupa asisten rumah tangga melainkan dipekerjakan sebagai pelayan restoran. Selain itu, DW hanya menerima gaji 50 persen dari yang dijanjikan sebesar 1.500 ringgit Malaysia per bulan.
DW pun dipulangkan ke Indonesia dan selanjutnya tersangka P meminta ayah saksi korban berinisial TH untuk membayar biaya penalti sebesar Rp 10.500.000 karena DW dinilai melanggar kontrak di Malaysia.
Oleh karena adanya permintaan biaya penalti tersebut, saksi korban DW selanjutnya akan diberangkatkan ke Singapura dengan menjalani pelatihan lebih dahulu di BLK milik P.
"Berdasarkan hasil penyelidikan dan keterangan para saksi, kami pada Sabtu (10/6) menangkap P, TTH, dan S beserta barang bukti untuk dilakukan proses lebih lanjut di Polresta Banyumas," jelasnya.
Kapolresta mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui para tersangka memberangkatkan saksi korban DW ke Malaysia tanpa melalui prosedur atau surat rekomendasi dari Dinnakerkop UKM Banyumas.
Selain itu, penempatan saksi korban juga tanpa sepengetahuan PT MPU yang disebut tersangka P sebagai perusahaan penempatan PMI yang telah bekerja sama dengan BLK miliknya.
"Kami telah melakukan pengecekan ke PT PMU dan diketahui jika perusahaan tersebut tidak bekerja sama dengan tersangka P," ujar dia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka P mengaku telah memberangkatkan sekitar 20 orang PMI tanpa prosedur resmi sejak 2019 ke sejumlah negara di Asia seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong.
Sementara tersangka TTH yang dibantu tersangka S telah memberangkatkan kurang lebih 10 orang PMI tanpa prosedur resmi ke sejumlah negara di Asia khususnya Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong.
Terkait tindak pidana tersebut, ketiga tersangka dijerat dengan pasal 69 jo pasal 68 jo pasal 5 huruf b sampai huruf e jo pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau pasal 81 jo pasal 69 dan pasal 83 jo pasal 68 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.