REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Jajaran Polres Semarang memiliki urgensi untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Hal ini sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka memberikan perlindungan kepada siapa pun Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri.
Apabila keberangkatan PMI ke luar negeri tersebut tidak sesuai dengan peraturan, prosedur yang benar atau bahkan melanggar hukum, maka negara akan kesulitan untuk memberikan perlindungan.
"Terutama jika terjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan di negara orang," ungkap Kasatreskrim Polres Semarang, AKP Kresnawa Hussein, dalam konfrensi pers pengungkapan kasus dugaan TPPO, di Mapolres Semarang, Kamis (15/6/2023).
Ia mengatakan, jamak terjadi karena para PMI tidak dibekali dengan keterampilan yang memadai misalnya pelatihan bahasa justru akan menjadi persoalan di negara tujuan bekerja, seperti menjadi korban kekerasan oleh majikannya.
Atau karena berangkat tidak melalui prosedur dan ketentuan yang semestinya, justru akan menjadikan PMI berurusan dengan aparat penegak hukum di negara tujuan. “Begitu pula jika terjadi sesuatu, negara juga kesulitan untuk memback up,” jelasnya.
Kasatreskrim juga menyampaikan, selain penindakan dugaan kasus TPPO yang melibatkan tersangka SK, Satreskrim Polres Semarang juga menindak TPPO dengan pelaku perorangan dengan tersangka S (50), perempuan warga kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Tindakan kepolisian dilakukan karena tersangka diduga melakukan perekrutan sekaligus penyaluran PMI ke luar negeri tetapi tidak memenuhi persyaratan legalitas atas kegiatannya tersebut. "Setelah dilakukan penyidikan, dokumen perizinan ternyata sudah tidak berlaku lagi," jelasnya.
Tersangka S mengaku telah melakukan kegiatan yang tidak sesuai ketentuan ini sejak tahun 2016 hingga 2023. Selama periode ini, sedikitnya 21 orang PMI telah diberangkatkan ke luar negeri, seperti ke negara Malaysia dan Singapura.
Sementara satu orang calon PMI masih berada di penampungan. Dari setiap PMI yang direkrut dan ditempatkan bekerja di luar negeri, tersangka mearup keuntangan rata-rata Rp 4 juta. "Jika 21 orang PMI telah diberangkatkan, maka tersangka telah meraup Rp 84 juta dari kegiatan ilegal ini," jelasnya.