REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini dunia Islam Indonesia digemparkan dengan kasus kesalahan pemberian makanan haram kepada konsumen Muslim. Agar kasus-kasus serupa tak terulang, bagaimana sebenarnya ketentuan restoran non-halal memasang pemberitahuan produknya kepada konsumen Muslim?
Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati mengatakan pada Pasal 141 PP39 tahun 2021 mewajibkan produk makanan minuman disertifikasi halal pada 17 Oktober 2024. Kecuali, kata dia, jika pelaku usaha secara jelas menyatakan produknya haram (merujuk ke Pasal 2 PP terkait).
"Sebelum Oktober 2024, pelaku usaha restoran yang menjual produk non-halal diimbau untuk memberikan pengumuman bagi konsumen yang berkunjung," kata Muti saat dihubungi Republika.co.id, baru-baru ini.
Dia melanjutkan, jika konsumen bertanya mengenai status kehalalan produk yang disajikan, restoran wajib memberitahukan secara jelas sesuai Pasal 8f UU Perlindungan Konsumen terkait larangan pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Hal ini juga diperkuat Pasal 8h UU Perlindungan Konsumen dan yang melarang produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Muti menjelaskan, jika terdapat pengusaha yang memberikan informasi tidak betul terkait status halal produk/jasa yang dijual, pelakunya dikenakan sanksi sesuai Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Aturan tersebut dan PP 39 tahun 2021 pasal 149 ayat 6 juga mengenakan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar atas pelanggaran terkait hal ini.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini dunia Islam digegerkan dengan kasus pelayan di restoran Mamma Rosy, yang memberikan daging babi ke pelanggan Muslim yang memesan daging sapi.