REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Rancangan Undang-undang Kesehatan (RUU) Kesehatan masih menjadi polemik di masyarakat karena dinilai masih banyak masalah dalam rancangan peraturan tersebut. Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, mengatakan sumber masalah dalam RUU Kesehatan itu bisa dilihat dari konsiderannya yang mengubah paradigma dari healthcare menjadi health industry.
"Merujuk konsideran atau dasar pertimbangan didalam RUU KESEHATAN terdapat penegasan secara jelas tanpa keraguan yaitu bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka. Sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global," kata Chandra Purna Irawan kepada Republika.co.id, Jumat (16/6/2023).
Chandra menjelaskan, di dalam pertimbangan tersebut terdapat dua frasa yang dinilai mendorong liberalisasi kesehatan yaitu "menciptakan Kemandirian dan Mendorong Industri Kesehatan". Mengutip pendapat Shaffer dalam bukunya yang berjudul "Child development" menyatakan kemandirian adalah kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
"Jika berdasarkan definisi di atas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah bermaksud mendorong agar rakyatnya tidak bergantung pada pemerintah, dalam hal kesehatan? Dan mendorong agar rakyatnya untuk berupaya sendiri untuk memperoleh fasilitas kesehatan?" katanya.
Chandra mengatakan, jika itu yang dimaksud, apakah Negara tidak masuk kategori berlepas diri dari urusan rakyatnya? Menjauhkan peran negara dalam urusan pelayanan kesehatan dan cenderung menyerahkan pada mekanisme pasar. Padahal, kewajiban negara adalah menjamin kesehatan bagi setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, UUD 1945 Pasal 34 ayat 3, UU No 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Sedangkan BPJS tidak murni tanggung jawab negara karena masyarakat turut serta menanggung biaya kesehatan dengan cara iuran. Pada praktiknya, masyarakat bahu-membahu atau gotong royong dengan mengumpulkan iuran bulanan, termasuk rakyat miskin pun mesti iuran BPJS jika ingin mendapatkan fasilitas kesehatan.
"Sedangkan terkait Industri Kesehatan, apabila dimaknai perlu dikembangkan oleh negara tanpa swastanisasi/privatisasi untuk mengurangi ketergantungan pada obat dan alat kesehatan impor, maka ini sangat baik," katanya.
Namun, jika dimaknai sebagai privatisasi/swastanisasi, akan menjadi persoalan karena dikhawatirkan akan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Masyarakat seolah-olah berhadapan dengan pasar yang diasumsikan mempunyai tangan tak terlihat dan akan menghasilkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi semua pihak.
"Dengan kata lain, privatisasi yang bertujuan untuk efisiensi anggaran negara dapat berdampak negatif pada warga bahkan menghasilkan perubahan sosial negatif yakni terfragmentasinya masyarakat oleh pasar sehingga membuat mereka semakin tidak berdaya," katanya.
Potensi perubahan paradigma dari health care menjadi health industry dapat menghilangkan substansi utama dari pelayanan kesehatan. Dan hal tersebut bertentangan dengan konstitusi.