Jumat 16 Jun 2023 21:44 WIB

Anak SD Punya Grup Chat LGBT, Mengapa Mereka Bisa Terjerumus di Usia Sebelia Itu?

Anak usia SD di Pekanbaru kedapatan tergabung dalam grup chat LGBT.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Baju anak bertemakan kampanye LGBT di jual menjelang Pride month di toko Target, Hackensack, New Jersey, Amerika Serikat, Rabu (24 Mei 2023). Beberapa barang telah disingkirkan dari toko setelah Target menerima protes keras dari sejumlah pelanggan.
Foto: AP Photo/Seth Wenig
Baju anak bertemakan kampanye LGBT di jual menjelang Pride month di toko Target, Hackensack, New Jersey, Amerika Serikat, Rabu (24 Mei 2023). Beberapa barang telah disingkirkan dari toko setelah Target menerima protes keras dari sejumlah pelanggan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terungkapnya grup chat lesbian, gay, biseksual, atau transgender (LGBT) yang berisi anak-anak usia sekolah dasar di Pekanbaru, Riau, menjadi kabar yang mengagetkan. Di luar negeri, seperti Amerika, jumlah anak muda yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT pun ditemukan meningkat.

Mengutip survei Gallup, Joe Carter selaku penulis buku The Life and Faith Field Guide for Parents mengungkapkan jumlah orang Amerika yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT telah meningkat menjadi 5,6 persen, naik dari 4,5 persen dari data 2017. Satu dari enam orang dewasa berusia antara 18 hingga 23 tahun mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ.

Baca Juga

Sementara itu, sebagian besar orang dewasa Gen Z yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ (72 persen) mengatakan bahwa mereka adalah biseksual. Lalu, sekitar setengah dari generasi Milenial yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ mengatakan bahwa mereka adalah biseksual.

Menurut Carter, penyebab peningkatan tersebut diyakini akibat dari terjadinya penularan sosial dan normalisasi homoseksualitas. Hal itu membuat generasi yang lebih muda sangat rentan dan percaya bahwa mereka harus mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ.

Penularan sosial terkait dengan sikap, kepercayaan, dan perilaku yang dapat menyebar ke seluruh populasi. LGBTQ seolah telah menjadi sesuatu yang menular.

"Paparan sederhana saja tampaknya sudah menjadi kondisi yang cukup untuk terjadinya transmisi sosial," kata peneliti psikolog Paul Marsden, seperti dikutip dari The Gospel Coalition, Jumat (6/6/2023).

Menggunakan tesis penularan sosial, Marsden menyebut fenomena sosiokultural dapat menyebar dan melompat masuk ke populasi. Polanya lebih mirip wabah campak atau cacar air daripada melalui proses pilihan rasional.

Lebih lanjut, Carter menjelaskan penularan sosial adalah satu-satunya penjelasan yang memadai yang menjadi alasan begitu banyak anak muda, terutama wanita yang mengeklaim diri sebagai biseksual. Kampanye merajalela oleh media massa dan paparan pornografi juga dinilai ikut memengaruhi.

Di antara wanita yang menonton pornografi daring, "lesbian" adalah istilah paling populer secara keseluruhan. Konten semacam itu dua kali lebih mungkin ditonton oleh wanita dibandingkan pria.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement