REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI berupaya melakukan negosiasi penambahan kuota penangkapan ikan tuna sirip biru untuk menekan potensi penangkapan ilegal.
"Kami akan berjuang karena yang memutuskan itu internasional. Kami negosiasi dan melobi berbagai pihak," kata Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono di Legian, Kabupaten Badung, Bali, beberapa waktu lalu.
Komisi internasional yang menentukan dan mengatur jumlah kuota penangkapan ikan tuna sirip biru per tahun adalah Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Negosiasi, kata Trenggono, agar terjadi keadilan dengan negara lain. Contohnya Australia yang mendapatkan kuota per tahun mencapai 6.000 ton.
"Harus seimbang. Kalau tidak seimbang nanti kemungkinan bisa terjadi distorsi," kata Trenggono.
Dia menjelaskan, perbedaan mencolok terkait kuota penangkapan ikan tuna sirip biru itu berpotensi menimbulkan perdagangan gelap ikan tuna sirip biru hingga penangkapan ilegal dan tidak dilaporkan.
Sebelumnya, Indonesia mendapatkan kuota penangkapan ikan tuna sirip biru per tahun mencapai 1.023 ton untuk periode 2018-2020. Kuota tersebut kemudian meningkat 100 ton menjadi 1.123 ton per tahun setelah melalui sidang yang alot untuk periode 2021-2023.
Tuna sirip biru atau yang dikenal sebagai southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang harganya pernah menembus rekor dunia Rp 25 miliar untuk satu ekor tuna berbobot 276 kilogram di Pasar Ikan Toyosu, Tokyo, Jepang, pada Januari 2020.
Sebagai ikan perairan jauh, tuna dikelola oleh Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Dalam hal pengelolaan tuna sirip biru, RFMO yang mengelola adalah CCSBT. Indonesia menjadi negara anggota pada CCSBT sejak 2008 melalui Perpres Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.