REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGB PTNBH), Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan bahwa MDGB PTNBH menaruh perhatian ihwal isu pemberian gelar profesor kehormatan kepada tokoh dari kalangan non akademisi. Ia mengatakan isu tersebut selalu menjadi pembicaraan dalam rapat pleno MDGB PTNBH.
"Profesor kehormatan memang sudah lama, ini adalah pleno ketiga ya, dimana kita membicarakan masalah ini," kata Harkristuti dalam konferensi pers yang digelar Jumat (16/6/2023).
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan untuk menyandang gelar profesor maka seseorang harus melalui tahap-tahap tertentu dan melaksanakan tri dharma perguruan tinggi seperti pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka seharusnya gelar profesor tidak bisa sembarangan diberikan.
"Sekarang ternyata jabatan akademik ini menjadi rebutan karena orang merasa lebih terhormat walaupun mungkin keilmuannya nggak ada," ucapnya.
Harkristuti menilai gelar akademik tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik. Untuk itu agar tidak terus berulang, MDGB PTNBH saat ini tengah menyusun aturan terkait pemberian gelar profesor kehormatan.
"Inilah yang menjadi concern kami, jadi kami juga sudah menyusun semacam policy brief gimana caranya supaya ini tidak berlanjut ke depan," ungkapnya.
Untuk diketahui, isu mengenai pemberian gelar profesor kehormatan mencuat pada awal 2023 lalu. Para dosen UGM menandatangani penolakan terkait wacana pemberian gelar kehormatan terhadap Gubernur BI Perry Warjiyo. Namun hal itu diketahui juga sudah dibantah Rektor UGM Ova Emilia.
Ova menuturkan, yang sebenarnya terjadi adalah UGM membentuk tim untuk mengkaji Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan di Perguruan Tinggi.
"Itu kan kita membuat tim, saya nggak ngerti kenapa kok menjadi satu hal yang ramai, artinya kita itu membuat tim untuk mengkaji kebijakan kementerian, so, what's wrong with that?" kata Ova ketika itu.