REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui adanya ketimpangan harga eceran gas LPG 3 kilogram (kg) bersubsidi antardaerah. Pemerintah mengaku tengah mengevaluasi kebijakan yang tepat untuk mengatur agar harga gas bersubsidi wajar di tangan konsumen.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan selama ini pengaturan harga LPG 3 kg memang diserahkan kepada masing-masing daerah di tingkat pangkalan. Kemudian gas tersebut didistribusikan ke para pengecer yang tersebar di berbagai wilayah.
Sistem tersebut membuat penetapan harga eceran tertinggi (HET) di level daerah berbeda. Itu juga dipengaruhi bila wilayah distribusi menjangkau kawasan terpencil yang membutuhkan ongkos transportasi lebih tinggi.
"Memang selama ini aturannya di daerah tergantung dari biaya yang diperkirakan dari Depo LPG yang disalurkan Pertamina dan selanjutnya ada proses angkut ke mana-mana juga wilayah remote," kata Arifin di Jakarta, akhir pekan ini.
Melihat disparitas harga yang cukup timpang antar daerah, Arifin mengatakan pemerintah melakukan evaluasi dari kewajaran HET LPG 3 kg. "Jadi memang yang akan kita evaluasi sekarang adalah kewajaran dari pada HET, kita ingin supaya wajar diterima (masyarakat)," kata Arifin.
Sembari melakukan evaluasi, pihaknya mengaku tengah melakukan pendataan harga LPG 3 kg di setiap daerah. Hal itu agar diketahui seberapa besar disparitas harga LPG 3 kg yang diterima konsumen sehingga nantinya dapat ditemukan solusi untuk membentuk kewajaran harga secara nasional.
Arifin menambahkan, pihaknya ingin agar sistem harga LPG 3 kg mencontoh pada kebijakan harga pupuk bersubsidi. Di mana, harga pupuk bersubsidi yang diterima para petani di berbagai daerah sangat terjangkau.
Di sisi lain, sasaran penerima pupuk subsidi juga langsung diterima oleh petani yang terdata berhak sehingga dapat tepat sasaran. "Pupuk itu juga bisa kok langsung ke kelompok petani dan tidak mahal-mahal biayanya, juga kita inginnya seperti itu," ujar dia.