Oleh; Jaya Suprana. Musikus dan pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
Di tengah gelombang euforia pujian seantero jagad bagi Putri Ariani ternyata muncul reaksi sinis terhadap Simon Cowell. Tokoh anggota dewan juri America’s Got Talent ini dituduh menganugerahkan Golden Buzzer kepada Putri akibat belas kasihan terhadap Putri Ariani.
Jelas berita beraroma negatif tersebut menimbulkan rasa kecewa di lubuk sanubari jutaan, bahkan puluhan juta simpatisan Putri Ariani. Saya termasuk simpatisan Putri Ariani karena menurut selera subyektif saya, putri terbaik Indonesia yang sedang menuntut ilmu di SMK Musik Yogyakarya tersebut memang tampil prima di babak audisi AGT.
Yang jelas saya pribadi tidak mampu menyanyi semerdu dan semengharukan seperti Putri! Saya tidak tahu apakah Simon Cowell menghargai Putri Ariani sekadar akibat belas kasihan.
Namun andaikata memang benar, So What! Jika memang benar Simon berbelas-kasih terhadap Putri, lalu apa yang salah? Salahkah apabila seorang insan manusia berbelas kasihan kepada sesama manusia apalagi di tengah angkara murka kebencian sedang merajalela di persada planet bumi ini?
Salahkah apabila Simon Cowell berupaya mewujudkan makna luhur sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab menjadi kenyataan terhadap Putri Ariani?
Mengenai tuduhan bahwa Simon Cowell berselera tidak obyektif, maka saya mohon izin untuk bertanya apakah ada selera yang obyektif? Jika ada yang sombong mengaku dirinya punya selera yang obyektif, maka saya ingin berkenalan demi kemudian bersembah-sujud kepada sang manusia sakti-mandraguna sehingga mampu berselera obyektif terserbut.
Mustahil selera musik itu obyektif!
Sejauh pengalaman saya dalam bermusik dengan mempergelar karsa dan karya musik sederhana saya di panggung Esplanade Singapura, Sydney Opera House dan Carnegie Hall maupun menyelenggarakan Indonesia Pusaka International Piano Competition di mana para juara dari mancanegara termasuk Jepang, China dan Rusia tampil di Istana Bogor atau memprakarsai Wayang Orang tampil di Sydney Opera House dan UNESCO Paris, saya berani menyimpulkan bahwa selera mustahil obyektif akibat selera memang subyektif.
Pada hakikatnya seni memang tidak bisa dilombakan secara objektif seperti olahraga. Prestasi olahraga bisa diukur secara obyektif, sementara prestasi seni mustahil diukur secara obyektif sebab terkait lekat pada selera subyektif.
Di dalam naskah “Keajaiban Para Pemusik Ajaib” (Kompas.com, Juni 2023), saya menulis kalimat prognotif bernada ultimatif bahwa jika Putri tidak menjuarai AGT 2023, berarti dewan juri AGT bermutu buruk.
Sudah barang tentu kalimat tersebut merupakan ungkapan wishfull thinking subyektif seorang warga Indonesia berharap sesama warga Indonesia berhasil menjuarai AGT.
Namun setelah menyimak badai bullying yang diterpakan ke Simon Colwell, saya tidak tahu seberapa besar pengaruh tsunami bullying tersebut terhadap keteguhan iman kesenian para anggota dewan juri AGT. Mungkin sama sekali tidak ada pengaruh. Namun bukan mustahil ada pengaruh sehingga dewan juri AGT tidak berani menjuarakan Putri Ariani akibat paranoid dituduh berbelas kasihan.
Andai kata Dewan Juri tetap tegar dalam keyakinan bahwa Putri Arian memang layak menjuarai AGT, maka saya dan para simpatisan (termasuk Presiden Jokowi dan Mas Mendikbudristek Nadiem) dan Putri Ariani sendiri wajib bersyukur alhamdullilah.
Namun jika ternyata Dewan Juri AGT tidak berani menobatkan Putri sebagai juara AGT 2023, Putri tidak perlu berkecil hati. AGT bukan satu-satunya jalan bagi Putri Ariani untuk membangun masa depan yang cemerlang.
Sejarah sudah membuktikan secara tak terbantahkan bahwa Waljinah, Titiek Puspa, Melky Goeslaw, Soendari Soekotjo, Ruth Sahanaya, Yuni Shara, Krisdayanti telah nyata berjaya dalam berkarya seni suara secara gilang-gemilang, sama sekali tanpa harus menjadi juara America’s Got Talent . MERDEKA!