REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kasus dugaan pembekuan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya (EM UB) masih terus berlanjut. Terakhir, Presiden EM UB Rafly Rayhan Al Khajri menuntut adanya iktikad baik dari Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kewirausahaan Mahasiswa UB, Setiawan Noerdajasakti.
Sebelumnya beredar informasi bahwa Warek III UB mengeklaim tidak melakukan pembekuan terhadap aktivitas EM UB. Hal ini karena dia merasa tidak pernah mengeluarkan surat keputusan apa pun secara tertulis.
Mengetahui hal tersebut, Rafly mengungkapkan, pihaknya siap membuka semua data yang dapat membuktikan setiap pernyataan wakil rektor III. Hal ini sekaligus untuk mengembalikan ingatan Warek III UB terkait tindakannya terhadap EM UB.
Rafly tidak menampik pembekuan yang dilakukan Warek III memang tidak resmi dengan SK atau dokumen lainnya. Tindakannya lebih pada menahan hak administrasi dan keuangan lembaga, bahkan fasilitas kampus pun tidak diperkenankan untuk digunakan. Semuanya dapat diperoleh kembali oleh EM UB apabila pihaknya melakukan menghapus kritik yang tercantum di Instagram.
Selanjutnya, EM UB bertekad untuk menunggu iktikad baik Wakil Rektor III hingga Senin (19/6/2023) malam sesuai tenggat waktu yang telah disampaikan sebelumnya. "Apabila tidak ada iktikad baik, besok (Selasa, 20 Juni 2023) kami akan melakukan tuntutan yang lebih besar," ujar Rafly saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (19/6/2023).
Menurut Rafly, EM UB sejak awal selalu mengedepankan komunikasi atau dialog. Namun, warek III tidak pernah menggubris permohonan dialog yang diajukan EM UB. Jika pada akhirnya bertemu dan berdialog, warek III tidak mau menerima kritik dan berusaha menghindari pihaknya.
Hal yang pasti, kata dia, EM UB memiliki semua bukti untuk mengembalikan ingatan warek III. Dalam hal ini termasuk keberatannya atas kritik EM UB terhadap anugerah UB sebagai perguruan tinggi dengan penanganan kasus kekerasan seksual terbaik yang diterima dari Kemendikbudristek.
Rafly menyatakan, pihaknya memiliki data penanganan kasus kekerasan seksual yang mangkrak sepanjang 2022 dan data kasus 2023 yang masih dalam proses. Bahkan, ada oknum yang sengaja menginginkan agar kasus kekerasan seksual ditutup dan dihentikan penindakannya. "Kami memiliki rasionalitas dan data untuk mengkritik setiap kebijakan," katanya.