REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk Diplomasi Kawasan Ngurah Swajaya mengatakan, setiap pertemuan yang berkaitan dengan Myanmar harus merujuk pada Five-Point Consensus yang sudah disepakati bersama. Sedangkan, Thailand mengadakan pertemuan informal yang hanya mengundang Menteri Luar Negeri Junta Myanmar Than Swe.
"Jika engagement ini hanya dilakukan salah satu pihak saja maka upaya tersebut menyalahi mandat Five-Point Consensus," ujar Ngurah dalam acara pertemuan media pada Senin (19/6/2023).
Poin kedua dalam Five-Point Consensus menegaskan dialog konstruktif di antara semua pihak terkait harus segera dimulai untuk mencari solusi damai bagi kepentingan rakyat. Hanya saja, dalam pertemuan yang dilakukan Bangkok tersebut dilaporkan tidak ada perwakilan lain dari Naypyidaw yang terlibat selain pihak junta.
Ngurah menegaskan, Five-Point Consensus telah menjadi keputusan yang telah disepakati bersama oleh para pemimpin Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 2021. Kesepakatan itu pun kembali dipertegas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-40 dan ke-41 di Kamboja bahwa perwakilan non-politik untuk Myanmar dalam pertemuan KTT dan lainnya tetap berlaku.
"Pada KTT-42 Labuan Bajo semua leaders menegaskan kembali komitmennya untuk menjadikan Five-Point Consensus sebagai pedoman utama bagi ASEAN dalam membantu Myanmar keluar dari krisis politiknya," ujar Ngurah.
Ngurah menjelaskan, untuk melakukan perubahan dalam pendekatan menyelesaikan konflik di Myanmar, makan perlu diputuskan dalam KTT pula. "Engagement yang telah dilakukan sudah tentu maksudnya agar ada progres yang sifatnya konkret terkait implementasi Five-Point Consensus," ujarnya.