REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia telah melakukan komunikasi dengan berbagai pihak Myanmar lebih dari 75 kali dalam waktu lima bulan. Upaya ini dilakukan untuk menjalankan mandat dari Five-Point Consensus yang disepakati para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Tenggara (ASEAN).
"Ini termasuk dilakukan kepada junta, NUG, dan lainnya. Bahkan, hubungan serupa ini akan segera dilakukan juga setelah KTT ke-42," ujar Staf Khusus Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Untuk Diplomasi Kawasan Ngurah Swajaya dalam pertemuan media pada Senin (19/6/2023).
Menurut Ngurah, hubungan yang dilakukan memang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Upaya ini telah sejalan dengan poin kedua dalam Five-Point Consensus.
Poin itu menegaskan dialog konstruktif di antara semua pihak terkait dalam mencari solusi damai. Ngurah menegaskan, komunikasi yang dibangun perlu mendorong agar dialog inklusif secara nasional di Myanmar dapat dilakukan.
"Penyelesaian yang dilakukan secara inklusif dan genuine adalah satu-satunya cara agar perdamaian yang nantinya tercipta di Myanmar bersifat sustainable, durable," ujar Ngurah.
Ngurah menjelaskan, Indonesia bahkan menjalin komunikasi pula dengan negara-negara tetangga Myanmar yang juga terkena dampak dari konflik tersebut, termasuk Thailand. Namun, untuk pertemuan yang sedang berlangsung di Thailand, Indonesia memutuskan kali ini untuk tidak bergabung.
"Bu Menlu kan dikirimi undangan dan menjawab tidak bisa hadir dan itu disampaikan ke semua Menlu ASEAN," ujar Ngurah merujuk kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Beberapa negara lain pun dikabarkan tidak hadir dalam acara yang mengundang Menteri Luar Negeri yang ditunjuk junta Myanmar, Than Swe. Bahkan, Malaysia menilai upaya Thailand merusak persatuan ASEAN dan tetap mendukung upaya yang dilakukan oleh Indonesia.
“Penting bagi ASEAN untuk menunjukkan kesatuannya dalam mendukung proses Ketua ASEAN dan ASEAN yang sejalan dengan mandat dan keputusan yang dibuat oleh para pemimpin ASEAN,” ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Malaysia.