REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Sebanyak tiga orang ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kabupaten Garut. Ketiga tersangka yang masing-masing berinisial R (42 tahun), AS (26), dan MF (23). Ketiganya kedapatan menjalankan perusahaan sebagai penyalur pekerja migran Indonesia secara ilegal di wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Garut Kompol Yopy Mulyawan mengatakan, pengungkapan kasus itu dilakukan setelah dilakukan penyelidikan oleh jajarannya. Walhasil, polisi melakukan penggerebekan sebuah tempat atas nama PT Raya Mulya Bahari, di wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, pada Rabu (7/6/2023).
"Kami amankan 10 orang korban dan tiga orang tersangka," kata dia saat konferensi pers, Senin (19/6/2023).
Menurut Yopy, tersangka R diketahui menampung masyarakat untuk diberangkatkan sebagai anak buah kapal (ABK) ke negara Fiji dan Afrika Selatan. Saat dilakukan penggerebekan, terdapat 10 orang yang akan diberangkatkan ke Fiji dan Afrika Selatan.
"Mereka (korban) sudah menginap di lokasi itu selama tiga sampai tujuh hari," kata dia.
Yopy menjelaskan, tersangka R berperan untuk koordinasi dengan agen di luar negeri sekaligus pemilik perusahaan tersebut. Sementara dua orang lainnya membantu proses perekrutan dan operasional perusahaan.
Atas perbuatannya, para tersangka akan dikenakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO juncto Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. "Ancaman hukuman minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun penjara," kata dia.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Garut AKP Deni Nurcahyadi mengatakan, kasus TPPO saat ini memang menjadi atensi Presiden, Kapolri, Kapolda, dan Kapolres. Dalam kasus ini, korban yang berhasil diamankan ada 10 orang yang siap diberangkatkan oleh PT Raya Mulya Bahari.
"Dari 10 orang itu, kami dapatkan sejumlah bukti seperti tiket keberangkatan, BST yang sudah terbit, paspor, dan perjanjian kerja tersangka dengan agen di luar negeri. Mereka akan bekerja di kapal penangkap ikan atau cumi," kata Deni.
Menurut Deni, perusahaan penyalur didapati tidak memiliki Siuppak atau surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal. Dia mengatakan, perusahaan itu hanya memiliki akta notaris, nomor induk pengusaha, dan badan hukum PT.
"Dapat diduga perusahaan ilegal yang unprocedural," kata dia.
Dia menjelaskan, ketika penyalur tidak memiliki Siuppak, perusahaan itu tidak akan bertanggung jawab ketika ada ABK yang mengalami perilaku buruk selama menjalani pekerjaan. Pasalnya, perusahaan penyalur tidak memiliki izin legal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, perusahaan itu sudah beroperasi sejak 2017. Sejak saat itu, sudah ada sekitar 300 orang yang diberangkatkan oleh perusahaan itu. Saat ini, diperkirakan terdapat 200-an ABK dari perusahaan itu yang masih bekerja di laut.
"Kami masih dalami ABK di sana. Kami menunggu," ujar Deni.