Selasa 20 Jun 2023 07:43 WIB

Orang-Orang yang 'Nyaman' Hidup di Kolong Tol Angke

Ani senang mendapatkan bansos berupa beras, sayur, dan makanan dari gereja.

Kondisi warga yang tinggal di kolong tol Angke, Jakarta Barat, Senin (19/6/2023).
Foto: Republika/Eva Rianti
Kondisi warga yang tinggal di kolong tol Angke, Jakarta Barat, Senin (19/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Eva Rianti

Bak sebuah tempat persembunyian underground, kolong Tol Angke, Jakarta Barat (Jakbar) menyimpan kisah kehidupan manusia terpinggirkan di Ibu Kota. Orang-orang yang hidup di kolong tol itu menyiratkan bahwa tempat yang sebenarnya tidak layak untuk manusia menjadi seolah-olah layak-layak saja dalam paham ‘kejakartaan’.  

Republika.co.id menyambangi kawasan permukiman warga di kolong tol tersebut pada Senin (19/6/2023) siang WIB. Akses untuk menjangkaunya terbilang tak biasa. Untuk bisa masuk, terlebih dulu memasuki ruang kecil yang merupakan bagian patahan dari pagar beton, persis di seberang Kali Ciliwung di Jalan Kepanduan 1, Jelambar Baru, Kecamatan Petamburan, Jakbar.

Saat tiba di depan akses masuk, kondisinya jauh dari definisi gerbang atau pun pintu. Akses tersebut terlihat seperti sebuah ruang atau lubang berbentuk persegi panjang yang di samping kanan kirinya terdapat kardus serta tumpukan cucian piring.

Masuk ke dalamnya harus dengan cara merundukkan kepala dan membungkukkan badan. Pasalnya, akses masuk tersebut hanya memiliki ketinggian sekitar 70 sentimeter (cm). Setelah berada di dalam, setiap orang baru bisa berdiri dengan sempurna saat berada di tengah antara ruas jalan tol. Ruang itu juga sekaligus menjadi akses bagi mobilitas warga. 

Seorang warga yang tinggal di kolong tol dan meminta dipanggil Budi, mengaku, sudah tinggal selama tujuh tahun di lokasi tersebut. Dia merasa nyaman-nyaman saja tinggal di tempat tersebut, meski dengan segala keterbatasan ruang. Rasa kenyamanan itu tak muncul dengan sendirinya. Faktor ekonomi yang melatarbelakanginya.

Sebelum tinggal di kolong Tol Angke, Budi bercerita, pernah menempati Rusun Marunda di Jakarta Utara. Rusun milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tersebut mulanya digratiskan, namun hanya berjalan selama tiga bulan awal. Setelah itu, warga yang menempati rusun harus membayar dengan biaya yang menurutnya terbilang tinggi.

Dia menyebut, biaya yang dikeluarkan untuk air dan listrik di rusun sekitar Rp 700 ribu per bulan. Akhirnya, ia pun enggan untuk melanjutkan hidup di rusun, dan memilih tinggal di kolong Tol Angke, karena gratis.

"Kalau di sini (kolong tol) enggak mahal, airnya bahkan saya bikin sumur sendiri," kata Budi saat ditemui Republika.co.id di kediamannya di kolong Tol Angke, Jakbar, Senin (19/6/2023).

Sekilas tampak aktivitas warga kolong tol tersebut, seperti kehidupan masyarakat pada umumnya. Terlihat di hampir setiap sisi ada pakaian-pakaian yang dijemur di depan tempat tinggal warga. Ember-ember dan jeriken pun berjejeran.

Sejumlah warga terlihat berkegiatan, mulai dari tidur-tiduran, makan, berbincang-bincang, serta berjualan kopi sasetan. Tampak pula sejumlah warga tengah antre untuk mendapatkan bantuan sembako.

Di sisi tengah, bahkan terlihat ada sekolahan yang telah beroperasi. Namanya Sekolah Pondok Domba Kolong Tol Angke. Tak jauh dari sekolahan itu terdapat mushola yang sedang dalam proses pembangunan. Ya, nyaris sama seperti kehidupan masyarakat pada umumnya.

Namun, perbedaan yang paling kentara tentu adalah suara bising kendaraan yang lalu lalang di atas kepala. Soal kebisingan kendaraan itu, warga terlihat sudah terbiasa, seperti tak merasa terganggu dan tak ada keluhan pula.

Hanya perlu mengeraskan suara ketika berbincang dengan yang lainnya. Ihwal beraktivitas dengan merundukkan kepala dan membungkukkan badan pun seolah sudah spontan dan fasih dilakukan.

Tak hanya alasan biaya hidup yang mahal, Budi mengaku ,sulit dalam menjalankan pekerjaannya saat bertempat tinggal di rusun. Sehari-hari, laki-laki berusia 20 tahun ini bekerja sebagai pemulung. Kawasan Tol Angke lebih memberi peruntungan bagi dirinya dalam menjalankan pekerjaan, dibandingkan saat di rusun.

"Buat usaha di sana (rusun) mati. Buat jualnya (hasil mulung) susah. Kalau di sini gampang jualnya,' tutur Budi.

Dalam sehari, Budi mengaku bisa mendapatkan uang sekitar Rp 100 ribu. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta orang tuanya yang tinggal satu atap bersamanya di kolong Tol Angke.

Atas alasan-alasan itu, Budi mengaku, lebih senang tinggal di kolong Tol Angke. Dia sudah membuktikan, tinggal di rusun tidak memberikan peruntungan ekonomi bagi kehidupannya. Adapun saat ditanya soal kesehatan, Budi pun mengaku dirinya baik-baik saja tinggal di kolong tol. "Saya masih mau tetap di sini," ungkapnya.

Warga lainnya, Ani juga mengaku memilih tinggal di kolong Tol Angke karena faktor ekonomi. Dia menyebut, telah tinggal di tempat tersebut selama sekitar lima tahun. "Kenapa tinggal di sini karena biar bisa bayar kontrakan. Sebelum ini kan Rp 1 juta sebulan. Di sini gratis. Cuma bayar air pikulan sama listrik sekitar Rp 300 ribu (per bulan)," tutur Ani.  

Perempuan berkulit sawo matang ini mengaku seorang ibu rumah tangga yang hidup bersama suami dan anaknya. Untuk membantu kebutuhan keluarga, Ani juga kerap kali berjualan kopi sasetan di atas permukiman tersebut atau di luar jalan tol.

Sama seperti warga pada umumnya di kolong Tol Angke, Ani juga terbiasa untuk nyaman hidup di tempat tersebut. Dia mengaku, banyak pihak yang memberi perhatian, sehingga beberapa kali mendapatkan bantuan sosial. Pada Senin (19/6/2023) siang itu, para warga antre mendapatkan bansos berupa beras, sayur, dan makanan berbungkus styrofoam dari gereja.

"Biasanya dapat (bansos) dari gereja. Dari artis-artis atau dari Youtuber juga," kata Ani yang menerima dengan senang hati setiap bantuan yang diberikan orang lain.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement