Selasa 20 Jun 2023 12:30 WIB

Demokrat: Mandatory Spending Kesehatan Harus Ditingkatkan, Bukan Dihapuskan

Fraksi Demokrat berpendapat, mandatory spending 5 persen kesehatan masih diperlukan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Erik Purnama Putra
 Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Demokrat, Aliyah Mustika Ilham.
Foto: Istimewa
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Demokrat, Aliyah Mustika Ilham.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrat DPR menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU. Salah satu poin penolakannya adalah karena penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khusus untuk kesehatan.

"Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal lima persen dari APBN yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada era presiden ke-6 RI Bapak SBY hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya," ujar anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat, Aliyah Mustika Ilham, dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2023).

Dalam Pasal 171 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 diamanatkan, pemerintah mengalokasikan minimal lima persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk bidang kesehatan, di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik.

Pelayanan publik tersebut meliputi pelayanan kesehatan, baik pelayanan preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif. Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

"Hal tersebut (penghapusan mandatory spending) semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat," ujar Aliyah.

"Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat IPM, indeks pembangunan manusia," kata Aliyah melanjutkan.

Di samping itu, pembahasan RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law dibahas terburu-buru. Hal tersebut menyebabkan pembahasannya kurang komprehensif dan tak menyerap aspirasi berbagai pihak terkait kesehatan.

"Jika waktu dan ruang waktu lebih panjang lagi kami meyakini RUU ini dapat lebih komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas," ujar Aliyah.

Komisi IX DPR telah menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan. Pada Senin, mereka melakukan pengambilan keputusan tingkat pertama terhadap RUU yang menggunakan metode omnibus law UU Cipta kerja tersebut.

"Kita perlu mengambil persetujuan bersama, apakah naskah RUU ini disepakati untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna?" kata Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama RUU Kesehatan dijawab setuju.

Dengan ditetapkannya RUU Kesehatan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu itu, payung hukum yang bertujuan untuk menghadirkan transformasi layanan kesehatan itu dapat dibawa ke rapat paripurna DPR terdekat untuk disahkan menjadi UU Kesehatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement