Selasa 20 Jun 2023 12:51 WIB

Survei: Bank Konvensional Lebih Banyak Digunakan daripada Bank Digital

Sebanyak 46 persen mengaku takut rekeningnya di-hack jika menggunakan bank digital.

Survei Consumer Payment Attitudes Study (CPAS) 2022 Visa di Indonesia menemukan penggunaan bank konvensional di kalangan masyarakat lebih banyak bila dibandingkan dengan bank digital, (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Survei Consumer Payment Attitudes Study (CPAS) 2022 Visa di Indonesia menemukan penggunaan bank konvensional di kalangan masyarakat lebih banyak bila dibandingkan dengan bank digital, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei Consumer Payment Attitudes Study (CPAS) 2022 Visa di Indonesia menemukan penggunaan bank konvensional di kalangan masyarakat lebih banyak bila dibandingkan dengan bank digital, yakni sebesar 51 persen.

Responden survei mengungkapkan sejumlah kekhawatiran terhadap bank digital. Sebanyak 46 persen mengaku takut rekeningnya di-hack, 39 persen khawatir akan terjadinya transaksi tidak sah atau penipuan, dan 35 persen mengkhawatirkan jaringan yang tidak stabil.

Baca Juga

"Itu kekhawatiran utama terhadap bank digital. Oleh karena itu, kita perlu terus meningkatkan literasi bank digital, terutama dari sisi keamanan," kata Head of Products and Solutions Visa Indonesia Dessy Masri dalam gelar wicara Visa "Memasuki Era Virtual Banking di Indonesia" yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (19/6/2023) lalu.

Kendati demikian, survei menemukan penggunaan bank digital di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 75 persen pada 2020, 86 persen pada 2021, dan 88 persen pada 2022. Peningkatan tersebut utamanya berasal dari kelompok muda yang lebih adaptif dengan teknologi, yakni generasi milenial dan gen Z.

Namun, peningkatan inklusi keuangan tersebut belum seimbang dengan tingkat literasi keuangan.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan mencapai 85,10 persen, sementara indeks literasi keuangan masyarakat berada di level 49,68 persen.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menjelaskan, kondisi tersebut menunjukkan banyak orang yang memiliki akun bank, tapi tidak paham terhadap produk-produk keuangannya. Ia berpendapat, hal itu bisa berbahaya bagi masyarakat.

"Karena masyarakat jadi rentan terhadap penipuan. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat untuk mengurangi risiko tersebut," ujar Huda.

Dia mendorong upaya meningkatkan literasi keuangan dapat dimulai dari sisi pendidikan. Bahkan, ia merekomendasikan agar literasi keuangan diterapkan dari jenjang sekolah dasar (SD).

"Untuk meningkatkan tingkat literasi, harus dimulai dari pendidikan. Kalau anak SD umumnya cuma mengenal uang dan menabung, tapi harus masuk juga terkait manfaat layanan perbankan, pembayaran menggunakan kartu maupun handphone, dan sebagainya. Literasi ini yang harus kita dorong," kata Huda.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement