Selasa 20 Jun 2023 17:50 WIB

Pura-Pura Bahagia Ternyata Bisa 'Bahayakan' Mental, Ini Penjelasannya

Setidaknya ada 3 alasan mengapa berpura-pura bahagia ketika mengalami kesedihan.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Pura-pura bahagia (ilusytasi). Pura-pura bahagia ternyata justru dapat membahayakan mental seseorang.
Foto: www.freepik.com
Pura-pura bahagia (ilusytasi). Pura-pura bahagia ternyata justru dapat membahayakan mental seseorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir setiap orang mengalami tantangan di berbagai titik dalam hidup. Ada kalanya problem tersebut membuat kita merasa lelah, stres, dan cemas.

Selama masa-masa seperti itu, biasanya norma sosial mendorong Anda untuk menutupi emosi yang sebenarnya. Anda mungkin pernah memiliki pikiran seperti, “Ini semua ada di pikiranmu. Tersenyumlah dan kamu akan merasa lebih baik".

Baca Juga

Meskipun pikiran positif dapat menjadi alat yang berguna untuk mengatasi problem hidup tertentu, tapi berpura-pura bahagia secara terus-menerus dapat berdampak serius pada kesehatan mental. Hal itu dapat mencegah kita mengatasi akar penyebab masalah.

Dilansir laman Forbes pada Jumat (16/6/2023), berikut ini adalah tiga alasan yang didukung penelitian mengapa terkadang tidak baik untuk terus tersenyum atau berpura-pura bahagia ketika sebenarnya sedang mengalami kesedihan:

1. Itu memendam emosi yang sebenarnya

Tidak mungkin mengharapkan diri Anda 100 persen jujur tentang apa yang dirasakan. Waktu, tempat, dan situasi sering kali menentukan kesesuaian ekspresi yang membuat Anda harus menjaga perasaan orang lain atau menghormati ruang orang lain.

Menahan dan menutupi emosi yang sebenarnya dengan senyuman untuk kebaikan adalah keterampilan yang baik. Namun, selalu tersenyum untuk menghindari ketidaknyamanan Anda sendiri bisa menjadi tanda toksik.

Satu studi yang diterbitkan di Academy of Management Journal menemukan bahwa pekerja yang mencoba memalsukan emosi mereka, justru menjalani emosi yang memburuk dari waktu ke waktu. Senyum palsu hanya menunda hal yang tak terhindarkan. Meskipun kadang-kadang Anda perlu tersenyum untuk melewati masa-masa sulit, namun terus-menerus melakukan itu sebenarnya lebih berbahaya bagi psikologis dibandingkan mendatangkan kebaikan.

2. Mengarah pada keyakinan yang tidak realistis

Norma yang ada di masyarakat seolah menyatakan bahwa semakin banyak orang tersenyum, semakin positif perasaan mereka. Padahal, menurut sebuah artikel yang diterbitkan dalam Journal of Experimental Social Psychology, sering tersenyum sebenarnya bisa menjadi bumerang.

Bukan tindakan tersenyum itu sendiri yang meningkatkan kebahagiaan atau kesejahteraan, tetapi interpretasi senyuman sebagai cerminan kebahagiaan yang lebih berbobot. Sederhananya, keyakinan "Saya bahagia karena saya tersenyum" bisa menjadi kontraproduktif dibandingkan dengan, "Saya tersenyum karena saya bahagia".

Keyakinan tersebut dapat menyebabkan ekspektasi yang tidak realistis dan membahayakan kesejahteraan:

- "Saya tak terkalahkan, tidak ada yang menyakiti saya” versus "Saya cukup kuat untuk mengatasi rintangan ini".

- "Hidup saya sempurna” versus "Saya bahagia, saya akan bekerja untuk membuat kehidupan yang lebih baik untuk diri saya sendiri".

- “Saya yang paling cantik di antara teman-teman saya” versus “Saya suka penampilan saya dan senang berusaha untuk penampilan saya”.

Penegasan yang tidak selaras dengan nilai-nilai internal seseorang dapat menyebabkan penolakan, menciptakan rasa puas diri, dan mengurangi tanggung jawab atas kebahagiaan diri sendiri.

3. Memberikan kesan yang tidak benar

Dalam upaya meyakinkan diri sendiri tentang kebahagiaan, Anda juga mau tidak mau memberikan kesan yang sama kepada teman dan orang yang Anda cintai, yang mendorong mereka untuk memperlakukan Anda dengan cara tertentu. Sementara representasi diri yang positif pasti dapat mendorong pandangan yang lebih positif, representasi diri yang jujur mengembalikan kebutuhan seseorang akan dukungan sosial.

Dengan mempelajari perilaku individu di Facebook, peneliti menemukan bahwa pengungkapan diri yang tulus memainkan peran penting dalam menandakan kebutuhan seseorang akan dukungan sosial. “Sambil bersembunyi di balik topeng Facebook yang tersenyum, seseorang mungkin masih merasa bahagia. Namun, kebahagiaan seperti itu mungkin tidak berakar pada dukungan sosial yang berarti yang diberikan oleh teman-teman Facebook,” kata penulis utama studi tersebut, psikolog Junghyun Kim.

Terus menerus berpura-pura bahagia dan positif dapat menyebabkan gambaran yang salah tentang keadaan emosi Anda yang sebenarnya. Ini dapat menyebabkan kebingungan emosional, dan memengaruhi orang lain untuk berinteraksi dengan Anda dengan cara yang tidak membantu. Yang terpenting, ini dapat menghalangi Anda mendapatkan bantuan dan dukungan kesehatan mental yang Anda butuhkan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement