Selasa 20 Jun 2023 23:32 WIB

Kebiasaan Buruk yang Timbulkan Kecemasan, Nomor 1 Sering Dilakukan Orang-Orang

Hampir 30 persen orang dewasa akan terkena gangguan kecemasan pada suatu waktu.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Seseorang mengalami kecemasan (ilustrasi). Setidaknya ada lima kebiasaan buruk yang dapat menimbulkan kecemasan.
Foto: www.freepik.com.
Seseorang mengalami kecemasan (ilustrasi). Setidaknya ada lima kebiasaan buruk yang dapat menimbulkan kecemasan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir setiap orang pernah merasa cemas. Bagi sebagian orang, kecemasan adalah perasaan yang cepat berlalu, sementara bagi yang lain, perasaan itu adalah pendamping yang konstan.

American Psychiatric Association memperkirakan, hampir 30 persen orang dewasa akan terkena gangguan kecemasan pada suatu waktu dalam hidup mereka. "Kecemasan adalah reaksi normal terhadap stres dan dapat bermanfaat dalam beberapa situasi," tulis mereka.

Baca Juga

Kecemasan dapat mengarahkan seseorang pada bahaya tapi membuat tetap waspada. Para ahli mengatakan, ada kebiasaan tertentu yang bisa membuat seseorang cemas, meski tidak mengancam keselamatan.

Melansir dari laman Best Life, Selasa (20/6/2023), para ahli memaparkan lima kebiasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Berikut penjelasannya:

1. Mengecek ponsel saat bangun tidur

“Perilaku memulai hari dengan membombardir otak pada informasi, menyebabkan kita merasa cemas tentang semua yang perlu kita lakukan. Kita tidak memiliki kesempatan untuk membiarkan pikiran atau tubuh kita bangun dulu,” kata pendiri dan kepala petugas klinis Joon, Amy Mezulis.

Unggahan, laporan berita, dan email, itu akan tetap ada dalam 15 atau 20 menit setelah peregangan pagi, secangkir kopi pertama, atau meditasi pagi. “Menunggu, akan membuat saya menerima informasi dari tempat yang jauh lebih tenang,” kata dia.

Seorang terapis dan pelatih kehidupan di Fresh Starts Registry, Daniel Rinaldi, menyarankan untuk menerapkan rutinitas pagi yang baru. Beri waktu yang banyak pada tubuh untuk bersantai pada hari itu dan terlibat dalam hal-hal seperti meditasi, atau mungkin membuat jurnal atau mendengarkan musik.

2. Meremehkan waktu

“Banyak dari kita mengalami kesulitan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan ketika tiba waktunya untuk berganti pekerjaan lainnya. Terutama jika kita memiliki kecenderungan perfeksionisme atau terlalu banyak bekerja,” kata Mezulis.

Biasanya orang akan melakukan hal itu berulang-ulang untuk memastikan semua dikerjakan dengan benar. Salah satu cara untuk mencoba mengurangi perilaku ini adalah dengan menetapkan waktu tertentu untuk berhenti dan bertransisi ke pekerjaan atau aktivitas berikutnya.

“Jika sadar bahwa kita terus-menerus meremehkan waktu, berlatihlah membangun batasan. Jika menurut kita suatu pekerjaan akan memakan waktu 10 menit, beri batasan 20 menit untuk melihat bagaimana rasanya tidak terburu-buru untuk mengerjakannya,” kata Mezulis.

3. Menonton berita

Sebuah studi pada Agustus 2022 yang diterbitkan di Health Communication, menemukan bahwa orang yang secara obsesif mengonsumsi media berita lebih cenderung tidak hanya menderita stres dan kecemasan, tetapi juga kesehatan fisik yang buruk.

Profesor periklanan di College of Media and Communication di Texas Tech University dan penulis utama studi tersebut, Bryan McLaughlin, mengatakan bahwa berita beberapa tahun terakhir (pandemi global, kerusuhan politik, penembakan massal, perang, dan kebakaran hutan) telah memengaruhi banyak dari kita secara mendalam.

“Menyaksikan peristiwa-peristiwa ini terungkap dalam berita, dapat membawa keadaan kewaspadaan tinggi yang konstan pada beberapa orang, meningkatkan motif pengawasan mereka, dan membuat dunia tampak seperti tempat yang gelap dan berbahaya,” kata dia.

Rinaldi menyarankan untuk membatasi eksposur terhadap berita, terutama berita negatif. “Izinkan diri kita hanya pada waktu-waktu tertentu untuk mengonsumsi berita, dan sebaiknya jangan ketika bangun tidur atau saat mau tidur,” kata dia.

4. Bertengkar di media sosial

Sebuah studi pada Mei 2022 yang diterbitkan dalam Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, menunjukkan bahwa berhenti dari perilaku ini selama satu pekan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan perasaan sejahtera.

Belum siap untuk mematikan media sosial, bahkan untuk beberapa hari? Rinaldi menyarankan untuk mengubah cara menggunakannya. “Terlibatlah dalam interaksi positif,” kata dia. Keluarkan konten positif dan hindari konten yang meningkatkan kecemasan.

5. Tidak menarik napas cukup dalam

“Tingkat kecemasan kita dan keadaan fisik kita sangat erat kaitannya. Ketika kita cemas, sistem saraf simpatik tubuh kita bekerja (kita pernah mendengar respons 'melawan atau lari'). Pupil mata kita membesar, detak jantung kita meningkat, darah mengalir dari ekstremitas ke otot utama, kita mematikan pencernaan, dan kita mulai bernapas dengan sangat cepat dan dangkal,” kata dia.

Menurut dia, masalahnya adalah hubungan ini berjalan dua arah. Kecemasan dapat membuat pernapasan kita menjadi dangkal, tetapi pernapasan cepat yang dangkal juga dapat membuat kita merasa cemas, karena tubuh dan pikiran berusaha menyinkronkan pengalamannya.

Dia menyarankan pernapasan kotak, yang ia yakini sebagai garis pertahanan pertamanya melawan serangan panik. “Bujur sangkar memiliki empat sisi yang sama, jadi itu adalah pola pernapasan dalam empat bagian yang sama,” kata Rinaldi.

Tarik napas selama lima detik, tahan selama lima detik, embuskan selama lima detik, dan tahan napas selama lima detik. Lakukan ini lima kali dan kecemasan akan segera mereda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement