REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kanwil Kemenkumham Jatim memberikan tindakan tegas kepada MB, warga negara Singapura, yang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Tulungagung, karena melanggar keimigrasian. Pria berusia 66 tahun tersebut bakal dideportasi ke negara asalnya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, kami akan menjatuhkan tindakan administratif keimigrasian kepada MB berupa pendeportasian ke negara asal," ujar Kadiv Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Jatim, Hendro Tri Prasetyo, Rabu (21/6/2023).
Selain itu, pihaknya juga bakal memberikan sanksi administratif lain berupa pencantuman nama yang bersangkutan dalam daftar cekal atau tangkal. Saat ini, kata Hendro, Kantor Imigrasi Kediri sudah menerbitkan berita acara pembatalan dokumen perjalanan yaitu paspor yang bersangkutan.
Selain itu, Kanim Blitar juga telah berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tulungagung untuk membatalkan dokumen kependudukan seperti akta lahir, KTP, dan kartu keluarga. "Kanim Blitar juga sudah koordinasi dengan Bawaslu, agar melakukan pencegahan sehingga MB tidak masuk sebagai daftar pemilih tetap," ujar Hendro.
Terkait rencana deportasi, Kanwil Kemenkumham Jatim telah menetapkan tanggalnya, yaitu pada 22 Juni 2023. "Seluruh proses administrasi telah selesai, tinggal menunggu jadwal keberangkatan saja," ujar Hendro.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Blitar, Arief Yudistira menambahkan, MB sudah berada di Tanah Air sejak 1984. Dari hasil pemeriksaan, diketahui tujuan masuk ke Indonesia untuk kepentingan pendidikan. MB menjalani pendidikan S-1 di wilayah Malang dan lulus sekitar 2006.
"Pada medio 1984-1998, MB menggunakan visa kunjungan dengan paspor Singapura. Selama itu tercatat dia keluar masuk Indonesia sekitar 10 kali," kata Arief.
Pada 2011, MB mendapatkan dokumen kependudukan. Tidak hanya KTP dan kartu keluarga, tetapi juga lengkap dengan akta lahir. "KTP menggunakan nama Y (inisial), lahir di Pacitan pada 1973. Ini sudah bergeser dari identitas awal dari identitas yang di paspor Singapura," ujarnya.
Padahal, Arief melanjutkan, yang bersangkutan lahir pada 1956. Di paspor Singapura itu juga dituliskan wilayah kelahiran, yakni Pachitan. MB juga sempat menikah dengan warga lokal Blitar dan menekuni profesi sebagai tenaga pendidik.
Yakni dosen salah satu kampus di Tulungagung. "Ketika kami amankan kemarin, beliaunya juga masih mengajar atau menjadi dosen," ujarnya.
Keberadaan WNA asal Singapura ini cukup lama tidak terendus aparat. Arief mengungkapkan, pendataan dokumen keimigrasian kala itu masih menggunakan metode konvensional sehingga warga asing ini bisa beraktivitas tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi.
"Kami sudah konfirmasi ke Kedutaan Singapura. Dari sana terkonfirmasi yang bersangkutan masih tercatat sebagai warga Singapura. Kami cek juga ke Ditjen AHU, ternyata MB juga tidak pernah mengajukan perpindahan menjadi warga negara Indonesia," kata dia.