REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menghapus aturan terkait pengeluaran wajib atau mandatory spending untuk kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Gantinya, anggaran untuk kesehatan akan berbasis program yang direncanakan.
Sebelum adanya RUU Kesehatan, dalam Pasal 171 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan, pemerintah mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan, di luar gaji. Adapun lewat pengaturannya kini, anggaran kesehatan bisa saja lebih dari 10 persen.
"Ini mungkin pola baru, dimulai dari kesehatan, ini bisa berhasil tanpa orang bicara mandatory spending, diminta buat program nanti anggaran disesuaikan. Angkanya bisa lebih dari 10 Persen malah, selagi programnya bagus, dicapai, oke," ujar Melki di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (20/6/2023).
RUU Kesehatan memberi solusi, penganggaran di sektor kesehatan harus benar-benar direncanakan secara detail. Di mana nantinya, akan dibungkus dalam rencana induk bidang kesehatan.
"Dalam undang-undang (RUU Kesehatan) ini yang berbasiskan program, kinerja, output, income, input, dan lain-lain. Ada perencanaan yang bagus, ada programnya, ada input ada outcome, ini pola yang mau mereka (pemerintah) terapkan di UU Kesehatan," ujar Melki.
Penghapusan mandatory spending sendiri berkaca pada kebijakan 20 persen APBN untuk pendidikan. Dari situ, pemerintah dan Komisi IX berpendapat, patokan persen untuk sektor tertentu rupanya tak berdampak terhadap masyarakat.
"Mereka mengatakan belajar dari pengalaman 20 persen pendidikan itu, di mana ternyata penganggarannya tidak berbasis kebutuhan di lapangan. Uang di tengah jalan bisa bergeser ke lain hal yang bukan pendidikan," ujar Melki.
Fraksi Partai Demokrat DPR menolak rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Salah satu poin penolakannya adalah karena penghapusan pengeluaran wajib atau mandatory spending dari APBN khusus untuk kesehatan.
"Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada era Presiden ke-6 RI Bapak SBY hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya," ujar anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan, Senin (19/6/2023).
"Hal tersebut (penghapusan mandatory spending) semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat," lanjutnya.