Kamis 22 Jun 2023 23:15 WIB

Penentuan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah Mengacu pada MABIMS, Apa Itu MABIMS?

Kriteria MABIMS dibangun berdasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi (ketiga kanan) bersama Ketua MUI KH Abdullah Jaidi (kiri), Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Khafi (ketiga kiri), Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin (kedua kanan) dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kanan) bersiap memulai sidang isbat di Jakarta, Ahad (18/6/2023). Pemerintah menetapkan Hari Raya Iduladha 1444 Hijriyah jatuh pada Kamis (29/6/2023), berdasarkan pemantauan atau rukyatul hilal yang dilaksanakan pada 99 titik di Indonesia.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi (ketiga kanan) bersama Ketua MUI KH Abdullah Jaidi (kiri), Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Khafi (ketiga kiri), Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin (kedua kanan) dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kanan) bersiap memulai sidang isbat di Jakarta, Ahad (18/6/2023). Pemerintah menetapkan Hari Raya Iduladha 1444 Hijriyah jatuh pada Kamis (29/6/2023), berdasarkan pemantauan atau rukyatul hilal yang dilaksanakan pada 99 titik di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam rangka menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjan, pemerintah Indonesia selalu mengacu pada ketentuan MABIMS. Menurut kriteria baru MABIMS, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.

Namun, apa itu MABIMS dan bagaimana awal mula terbentuknya kesepakatan ini? MABIMS sendiri merupakan kriteria baru penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang ditetapkan oleh Menteri Agama dari empat negara, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Baca Juga

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, disebutkan pada 9 hingga 11 Juli 1974 diselenggarakan musyawarah hisab dan rukyat antar Negara, Malaysia, Singapura dan Indonesia di Jakarta. Hal ini pula yang kemudian menjadi cikal bakal MABIMS tersebut.

Dari pertemuan ini lahir sejumlah keputusan, di antaranya mengadakan kerja sama antar negara dalam hal hisab dan rukyat, serta mengadakan pertukaran informasi mengenaik hidab dan rukyat, kaidah-kaidah dan istilah falak syar'i. Tidak hanya itu, setelahnya didorong pula musyawarah lanjuran perihal dua hal ini secara bergantian di negara masing-masing dan menjalin kerja sama dalam bidang tersebut.

Di sisi lain, MABIMS ini juga memiliki kesepakatan untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan umat, tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik di antara negara anggota. Pertemuan membahas rukyat dan hisab ini dilakukan setidaknya dua tahun sekali, untuk mengetahui apakah diperlukan pembaruan atau tidak.

Pada 1994, dilakukan pertemuan di Singapura dibahas kerja sama di bidang hisab rukyat di antara empat negara. Dibentuk pula suatu komisi tetap selama pertemuan tersebut, yang bertugas membahas secara teknis bentuk-bentuk kerjasama dan pelaksanaannya.

Komisi tersebut diberi nama Jawatan kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam Negara Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Indonesia ditunjuk sebagai penghubung tetap Jawatan tersebut.

Dalam menjalankan tugasnya, komisi ini didukung oleh SDM yang ahli di bidang hisab rukyat, serta bidang-bidang lain yang berkaitan, seperti ahli astronomi dan ahli hukum agama. Sesuai dengan namanya, Jawatan kuasa ini bertujuan membahas dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menyusus Taqwim Islam dan Kerjasama Pelaksanaan Rukyat.

Adapun musyawarah pertama Jawatan Kuasa Penyelasarasan Rukyat dan Takwim Islam diadakan di Pulau Pinang, Malaysia, pada 1991. Dari sejumlah pertemuan yang telah dilakukan, muncul salah satu keputusan penting terkait dengan kalender Islam, yaitu teori visiibiltas hilal yang kemudian dikenal dengan istilah Visibiltas Hilal MABIMS.

Kriteria MABIMS yang digunakan saat ini sejalan dengan upaya unifikasi atau penyeragaman kalender Hijriyah. Dalam hal kajian fikih, upaya ini memperhatikan pendapat ahli fikih yang terbagi menjadi dua pandangan besar, yakni rukyat global dan rukyat lokal.

Seperti yang diketahui, ada ahli yang cenderung ke rukyat global (Hanafi, Maliki, dan Hambali) dan ada yang condong kepada rukyat lokal sekitar radius 120 km (Syafi'iyah).

Adapun kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang. Parameter yang digunakan sama dengan yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari), yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal.

Terbaru dalam kriteria MABIMS, ketinggian minimal 3 derajat didasarkan pada data global, elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor elongasi bulan terdekat. Kriteria baru MABIMS yang dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab ini dinilai merupakan titik temu, bagi pengguna metode rukyatul hilal seperti NU dan pengguna metode hisab seperti Muhammadiyah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement