REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH -- Kondisi cuaca di Makkah sangat panas bisa mencapai 46 derajat celcius, diperkirakan cuaca akan lebih panas lagi di padang Arafah tempat jamaah haji wukuf. Sehubungan dengan itu, jamaah haji Indonesia diimbau untuk wukuf di dalam tenda saja.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zulfa Mustofa mengatakan, tidak ada tuntunan secara khusus orang harus wukuf di Jabal Rahmah. Jika ada yang mengatakan Nabi Muhammad SAW wukuf di Jabal Rahmah, menurut para ulama itu tidak ada penjelasan haditsnya yang shahih.
"Dalam kondisi sekarang apalagi ketika cuaca ekstrem panas, jamaah haji sebaiknya tetap wukuf di tenda," kata Kiai Zulfa saat diwawancarai Republika di kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah, Kamis (22/6/2023).
Kiai Zulfa mengingatkan, setelah wukuf, perjalanan ibadah haji masih panjang. Jamaah haji masih harus ke Muzdalifah untuk mabit dan mengambil batu.
Selanjutnya jamaah haji mabit di Mina dan melempar jumrah. Setelah itu jamaah haji masih harus melakukan tawaf ifadah.
"Jadi jamaah haji sekali lagi wukuf di dalam tenda saja, tidak keluar dari tenda kecuali untuk kepentingan yang sangat penting," ujar Kiai Zulfa.
Dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umroh yang dipublis Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama, 2020. Dijelaskan bahwa wukuf artinya berhenti, diam tanpa bergerak. Wukuf adalah berkumpulnya seluruh jamaah haji di Arafah pada 9 Dzulhijjah sebagai puncak ibadah haji.
Jika dikaitkan dengan thawaf, yang diwarnai dengan gerakan, wukuf mengisyaratkan bahwa suatu saat gerakan itu akan berhenti. Jantung manusia suatu saat akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan bergeliat.
Ketika semua yang bergerak itu berhenti, terjadilah kematian dan manusia sebagai mikro kosmos pada saatnya nanti akan dikumpulkan di Padang Mahsyar. Sampai di sini, Arafah menjadi lambang dari Padang Mahsyar.
Di Arafah inilah seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul dengan bahasa, suku, bangsa, adat- istiadat, dan warna kulit yang berbeda-beda, tapi mereka punya satu tujuan yang dilandasi persamaan, tanpa perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara yang besar dan kecil, antara pejabat dan rakyat biasa.
Di situlah tampak nyata persamaan yang hakiki. Itulah Arafah yang namanya diambil dari kata ta’aruf atau saling mengenal menuju saling tolong-menolong, saling membantu di antara mereka, momen terpenting dalam berhaji dan menjadi syiar membanggakan tentang kuatnya ajaran egalitarianisme dalam Islam.