REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus persetubuhan sedarah antara ibu dan anak atau inses yang terjadi di Kota Bukittinggi menjadi viral. Menurut Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, inses itu sudah berlangsung sejak sang anak masih duduk di bangku SMA karena diajak oleh ibunya. Saat ini anak sudah berusia 28 tahun.
"Anak kita, dari usia SMA sampai usia 28 tahun berhubungan badan dengan ibu kandungnya," kata Erman.
Psikolog klinis sekaligus Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla mengatakan, dalam kasus inses antara orang tua dan anak yang sudah beranjak dewasa (adult child), lebih banyak dibahas mengenai emotional incest. Ini terjadi orang tua menjadikan anak sebagai sumber pemenuhan kebutuhan emosional yang tidak didapatkannya dari pasangannya.
Ada kebergantungan emosional yang tidak sehat kepada anak untuk mendapatkan perasaan nyaman, senang, lega, tidak sendirian, didukung, dan sebagainya.
“Namun demikian berbeda dengan pelecehan anak (child abuse) dalam kasus emosional incest ini, orang tua yang memiliki kebergantungan tidak sehat pada anaknya ini bisa jadi tidak memahami bahwa dirinya melakukan sesuatu yang salah,” kata Veronica kepada Republika.co.id, Jumat (23/6/2023).
Dilihat dalam perspektif norma sosial, hukum, agama, dan sains, persetubuhan orang tua dan anak tidak benar dan menyimpang. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan baik orangtua maupun anak dewasa menyadari perilaku tersebut salah.
Kecuali apabila individu bersangkutan mengalami masalah kesehatan mental tertentu yang memang berdampak pada disfungsi kognitif. Namun, untuk menjawab apa faktor yang menyebabkan persetubuhan inses ini berlangsung sekian lama, perlu diteliti secara mendalam.
“Hal ini perlu diteliti mendalam secara lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu diperiksa antara lain, apakah ada paksaan, ancaman, ataupun manipulasi emosional yang mengakibatkan perilaku persetubuhan ini? Bila ada, siapa yang melakukan? Bila tidak ada, maka apa yang memotivasi perilaku ini muncul? dan lainnya,” ujar dia.
Persetubuhan inses ini juga membawa dampak bagi anak, khususnya kondisi psikologisnya. Bahkan, kejadian ini berpotensi membawa masalah dalam hubungan dengan pasangan sang anak nanti. Misalnya, trauma, harga diri rendah, putus asa dengan masa depan, masalah kepercayaan diri, dan sebagainya.
“Untuk itu perlu mendapatkan penanganan dan pendampingan psikologis segera oleh psikolog klinis agar membantunya menghadapi dan memproses yang terjadi sehingga tidak berdampak lebih buruk,” ucap dia.