Dalam sidang-sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, muncul istilah adat, hak lingkungan adat, adat istiadat, hukum adat ketika membahas negara. Lalu, ketika Muh Yamin memaparkan enam kekuasaan yang harus ada dalam sistem kekuasaan Republik Indonesia, salah satunya ia sebut Balai Agung atau Mahkamah Tinggi.
Menurut Yamin, Mahkamah itu adalah suatu Balai Agung yang didalamnya ada Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam dan atau Mahkamah Sipil dan Kriminal. Kata Yamin:
Mahkamah inilah jang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-undang, maka Balai Agung inilah jang memutuskan apakah sedjalan dengan hukum adat, sjariah, dan Undang-Undang Dasar.
Mundur tujuh tahun ke belakang, yaitu pada 1928, Kongres Pemuda Indonesia II membuat keputusan yang isinya juga menyebut hukum adat. Hukum adat dinyatakan sebagai salah satu dasar persatuan:
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
kemaoean
sedjarah
bahasa
hoekoem adat
pendidikan dan kepandoean
Kini, pemilik hak lingkungan adat, yaitu masyarakat adat, dalam beberapa undang-undang telah diakui keberadaannya. Tapi, RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat hingga kini belum juga disahkan. RUU ini memberi definisi masyarakat hukum adat sebagai berikut:
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul leluhur, mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber daya alam dan lingkungannya, memiliki adat, nilai, identitas budaya yang khas yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, hukum yang ditegakkan oleh lembagalembaga adat.
Di situ ditegaskan, masyarakat adat “mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber daya alam dan lingkungannya”. Mereka memiliki pengetahuan khusus dalam mengelola secara berkesinambungan sumber daya alam dan lingkungan mereka.
Menurut Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Alianasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman, di dalam wilayah adat terdapat rungsi-fungsi konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola berdasarkan hukum adat. Hal itu merupakan hal yang tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat adat.
Dalam naskah Melayu Klasik, kita belum bisa menemukan kata tradisi dan tradisional, yang merupakan serapan dari kata Belanda: traditie dan traditioneel. Tapi, ada banyak kata “adat” dan turunannya. Kata “adat istiadat” ada 211 kali disebut, tersebar di 22 naskah Melayu Klasik yang ada di Malay Concordance Project, Australian National University (ANU). Untuk kata “adat”, ada disebut 2.331 kali –berikut kata turunannya penyebutannya mencapai 2.887 kali—tersebar di 138 naskah Melayu Klasik.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) I (1988), tradisi diberi makna:
1 adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yg masih dijalankan di masyarakat
2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yg telah ada merupakan cara yg paling baik dan benar
Sedangkan tradisional diberi makna:
Sikap dan cara berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pd norma dan adat kebiasaan yg ada secara turun-temurun
Tapi, makna pertama ini diberi kesan negatif ketika ditampilkan dalam contoh kalimat: Daerah itu mempunyai potensi cukup besar di bidang perikanan, tetapi masih diolah secara tradisional.
Makna ini di KBBI Daring sudah dibuang, yang ada tinggal makna kedua yaitu:
menurut adat: upacara tradisional, upacara menurut adat
Dalam Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, kata tradisional memang memiliki makna ketinggalan zaman ketika kata itu berfungsi sebagai kata sifat dan kata benda: tua dan kuno. Beberapa di antaranya juga disandingkan sebagai lawan kata dari modern. Misalnya, transportasi modern vs transportasi tradisional, perabot dapur modern vs perabot dapur tradisional, senjata modern vs senjata tradisional.
Lantas, bagaimana kita memaknai istilah konservasi tradisional dan konservasi berdasarkan (hukum) adat? Konservasi tradisional merupakan kata benda, yang memiliki lawan: konservasi modern. Adat istiadat atau tradisi, ada karena masyarakat adat dulu menciptanya, lalu ditularkan secara turun-temurun ke generasi penerusnya. Dalam hal ini, lembaga adat mengelolanya berdasarkan hukum adat. Tapi, tradisi tak melulu diciptakan oleh masyarakat adat. Tradisi bisa bermakna kebiasaan, yang bisa lahir di perkantoran modern yang tak ada kaitannya dengan masyarakat adat.
“Praktik konservasi dalam pengelolaan wilayah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat adat dalam menjaga ruang hidupnya secara lestari dan berkelanjutan berdasarkan pengetahuan tradisional yang dimilikinya,” tulis Muhammad Arman, dalam Policy Brief Vol 2 2023. Jadi, mereka mengelola kawasan konservasi masyarakat adat.
Masyarakat adat Moi di Malaumkarta Raya, misalnya, memiliki tiga kawasan konservasi. “Yaitu soo, kofok, dan egek. Soo merupakan zona inti khusus, kofok sebagai zona inti, dan egek sebagai zona pemanfaatan terbatas,” jelas Ketua Panitia Egek I Masyarakat Adat Moi Malaumkarta Raya, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Tory Kalami.
Mereka memiliki kawasan egek laut dan hutan. Lembaga adat akan menetapkan masa buka-tutup egek. Selama masa tutup egek, masyarakat tidak diperkenankan memanen sumber daya alam yang ada di dalamnya. Di wilayah egek laut, pada masa tutup egek, masyarakat tidak diperkenankan memanen lobster, teripang. Semula tidak boleh memanen lola (siput laut). Tapi sejak 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan melarang masyarakat memanen lola, karena perairan Malaumkarta bukan wilayah budidaya lola.
Saat buka egek, ketika lobster yang ditangkap sedang memiliki telur, maka lobster itu harus dilepas lagi ke laut. Kesinambungan sumber daya alam diperhatikan dalam konservasi menurut hukum adat ini.
“Perikanan modern adalah perikanan yang diatur. Bukan perikanan dengan akses terbuka. Perikanan berkelanjutan,” ujar Indra Jaya, guru besar perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam acara pemaparan hasil riset kolaboratif persepsi masyarakat mengenai penangkapan ikan terukur yang digelar oleg Yayasan Econusa, di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Dengan definisi itu, sistem egek di Malaumkarta Raya merupakan konservasi yang memenuhi syarat pengelolaan perikanan modern, bukan tradisional. Alasannya, pengelolaan egek memikirkan kesinambungan, pemanfaatannya dilakukan secara terbatas, tidak terbuka. Alat yang digunakan untuk memanen pun tidak boleh menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan. Artinya, alat-alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap tradisional, bukan alat tangkap modern.
Hukum adat mengatur hal itu, meski Malaumkarta Raya belum menjadi kampung-kampung adat. Masyarakat adat Moi di lima kampung Malaumkarta Raya –Malaumkarta, Suatut, Suatolo, Mibi, Malagufuk— bersepakat menjalankan konservasi berdasarkan hukum adat.
Maka, sudah selayaknya jika konservasi sumber daya alam di Malaumkarta Raya disebut sebagai konservasi berdasarkan hukum adat, bukan konservasi tradisional –lawan dari konservasi modern.
Priyantono Oemar