Oleh: Amirul Mukminin, Direktur Penerbit Darul Falah***
Ponpes Al-Zaytun adalah program defeksi Orde Baru. Tujuan pendiriannya adalah menjaring dan kalangan "Islam radikal" yang masih berpemikiran dan mencita-citakan penegakan negara Islam di Indonesia sehingga terkontrol dan teredam. Hal ini berkaca dari fakta sejarah berbagai gerakan DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Aceh, dan juga berbagai aksi pengeboman yang berupaya merongrong kedaulatan negara Republik Indonesia. Untuk memberi citra buruk, label itu dilekatkan dengan sandi NII-KW 9. Adapun yang dimunculkan ke permukaan di tengah kaum Muslimin Indonesia adalah "Ponpes Al-Zaytun".
Dengan tampilan bangunan pesantren megah dan mewah, Al-Zaytun dirasa mampu mengakomodir dan memuaskan hasrat kaum yang mengusung pikiran radikalisme khilafah Islamiyah dan umat Islam pada umumnya. Di tengah kaum radikal mereka berakidah Khawarij kepada pemerintah, selalu nyinyir dan berburuk sangka. Di hadapan kaum Muslimin mereka berakidah Syi'ah dengan taqiyah nya yang penuh dengan berbagai intrik layaknya bunglon.
Mereka menafsirkan Al-Qur'an dengan hawa nafsu yang dikontektualkan secara keliru namun aplikatif. Karenanya mereka menyakini kerasulan tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Kerasulan dikontektualkan dengan jabatan aparatur negara (mas'ul idariah) yang jelas bertentangan dengan akidah Ahlussunah wal Jamaah. Dengan mengedepankan tauhid mulkiyah, yakni target merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah sehingga membakar semangat radikalisme di kalangan generasi muda dan meniadakan tauhid asma' was-shifat.
Dalam masalah fikih mereka mengontektualkan periode Makkah dan Madinah guna membius kaum radikal. Mereka menebarkan kesesatan tidak wajibnya shalat fardhu karena saat ini Islam belum wujud sebagai negara di Indonesia. Tapi anehnya syariat zakat dan semua persoalan uang dengan berbagai istilah-istilah fikih mereka terapkan dan paksakan kepada jamaahnya sehingga menghalalkan segala cara sekalipun harus mencuri di tempat bekerja dan lainnya.
Madinah bagi mereka bukan di Arab Saudi, tapi di Indramayu, yakni di Ponpes Al-Zaytun. Siapa yang ikut ajakan mereka di- baiat dan dinyatakan telah berhijrah dengan diminta berganti nama. Kewalian jamaah wanita mereka yang belum menikah berpindah tangan dari ayah kandung kepada "imam" mereka. Adapun semua orang yang belum "hijrah" ke Al-Zaytun dianggap seperti halnya orang-orang kafir Makkah di zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Karenanya, siapa yang masuk menjadi jamaah mereka akan mengafirkan orang tuanya sendiri dan menghalalkan berbohong karena taqiyah bagi mereka adalah jihad. Nauzubillahi min dzalik.