REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Menteri Sumber Manusia Malaysia V Sivakumar menegaskan bahwa Kementeriannya mengintensifkan kegiatan penertiban dalam memberantas berbagai isu buruh termasuk kerja paksa. Sivakumar dalam keterangan pers dikeluarkan di Putrajaya, Ahad (25/6/2023), mengatakan Departemen Tenaga Kerja Semenanjung Malaysia akan melakukan sebanyak mungkin operasi pemeriksaan baik secara terpadu maupun bertahap, sesuai ketentuan hukum.
Ia juga mengatakan akan menindak setiap aduan jika ada unsur kerja paksa meskipun hanya salah satu dari 11 indikator kerja paksa yang digariskan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Kementeriannya, menurut dia, tidak akan berkompromi pada setiap masalah ketenagakerjaan terutama masalah kerja paksa dan perdagangan manusia.
Ia mengatakan Malaysia sudah mengamandemen Undang-undang (UU) tentang standar minimum perumahan, akomodasi dan fasilitas pekerja tahun 1990 yang bertujuan memaksa pemberi kerja menyediakan standar minimumperumahan dan fasilitas pekerja. Selain itu memperluas perlindungan sosial ke pekerja asing mulai 1 Januari 2019.
Selain itu, menurut dia, Malaysia meratifikasi konvensi ILO tentang kerja paksa yaitu Konvensi Kerja Paksa C029, 1930 (No.29) pada 11 November 1957 dan Protokol 2014 Konvensi Kerja Paksa 1930 (P029) yang diratifikasi pada 21 Maret 2022.
Terbaru, ia mengatakan sedang dalam proses bergabung dengan Alliance 8.7 yang bertujuan mempercepat penghapusan buruh paksa, perbudakan modern pada 2030 dan buruh anak pada 2025.
Pada Kamis (15/6/2023) lalu, ILO merilis survei yang menyebutkan hampir sepertiga pekerja migran yang bekerja di rumah tangga di Malaysia bekerja di bawah kondisi kerja paksa. ILO mengidentifikasi adanya indikator kerja paksa seperti jam kerja yang berlebih, lembur yang tidak dibayar, upah rendah, pergerakan terbatas dan pekerja yang tidak diizinkan berhenti kerja.
Survei berdasarkan wawancara dengan 1.201 pekerja rumah tangga di Asia Tenggara menemukan 29 persen pekerja rumah tangga di Malaysia menghadapi kondisi seperti itu, dibandingkan dengan masing-masing 7 persen dan 4 persen di negara tetangga Singapura dan Thailand.
ILO mendesak Malaysia, Singapura dan Thailand untuk meratifikasi konvensi PBB tentang pekerja rumah tangga dan kerja paksa, mengakui keterampilan pekerja rumah tangga, dan memastikan jalur migrasi yang tidak mengikat pekerja dengan majikan mereka.
Menurut ILO, sekitar 80 persen pekerja rumah tangga di Malaysia didominasi oleh pekerja dari Indonesia. Tahun lalu, Indonesia dan Malaysia menandatangani kesempatan untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja rumah tangga.