REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Riset perusahaan riset BMI, yang merupakan bagian dari Fitch Rating, mengungkapkan, siklus kenaikan suku bunga Federal Reserve Amerika Serikat (AS) yang akan segera berakhir dan ketidakstabilan keuangan global terus meningkat, harga emas kemungkinan akan bergerak menuju level tertinggi sepanjang masa di sekitar 2.075 dolar AS per ons (oz) (sekitar Rp 31 juta per ons) dalam beberapa bulan mendatang.
Namun, ada resistensi signifikan di sekitar level itu, karena dolar AS tetap kuat, tambah laporan itu. Untuk 2023, BMI memperkirakan harga emas sebesar 1.950 dolar AS per ons (sekitar Rp 28,8 juta per ons). Harga rata-rata emas 1.935 dolar AS per ons (Rp 28,6 juta per ons) pada tahun ini, dengan level saat ini di 1.955 dolar AS per ons (Rp 28,9 juta) pada pertengahan Juni.
"Kami netral terhadap bullish harga emas sejak kuartal 2022 dan tetap demikian untuk beberapa bulan ke depan," tulis laporan itu dilansir Zawya, Senin (26/6/2023).
Faktor-faktor yang akan mendorong harga emas lebih tinggi antara lain sebagai berikut. Pertama, memuncaknya imbal hasil obligasi, jatuhnya imbal hasil obligasi riil, dan ekspektasi penurunan suku bunga yang signifikan akan terus mendukung aset yang tidak memberikan imbal hasil ini (emas), kata laporan itu.
BMI percaya, tidak mungkin ada lebih dari satu kenaikan 25 basis poin (bps) tambahan yang akan membawa suku bunga Fed ke tingkat terminal 5,50 persen pada Juli 2023. "Ini akan menjaga harga emas tetap tinggi pada 2023 dan 2024."
Kedua, melemahnya dolar AS. Dolar AS telah melemah secara signifikan sejak akhir 2022, didorong oleh ekspektasi bahwa siklus kenaikan Fed hampir berakhir dan mata uang lainnya, seperti euro dan pound sterling, mengalami peningkatan relatif dalam fundamentalnya.
"Kami percaya bahwa sikap hawkish the Fed adalah pendorong utama dolar AS, dan kekuatan dolar akan mulai memudar saat kita semakin dekat ke level tertinggi suku bunga. Ini akan mendukung minat pada emas."
Ketiga, kekhawatiran Resesi. Tim BMI memperkirakan pertumbuhan PDB riil global akan melambat dari 3,1 persen pada 2022 menjadi 2,1 persen pada 2023. Di tengah latar belakang global yang mendung, minat investor terhadap status safe-haven emas akan tetap kuat.
Keempat, risiko geopolitik. BMI berpandangan perang Rusia-Ukraina akan berlanjut hingga setidaknya semester kedua 2023. Di tempat lain, ketegangan antara Washington dan Beijing akan meningkat pada l 2023 sebagai tanggapan atas kebijakan pemerintah AS.
"Ini akan membuat minat investor pada emas meningkat karena investor mencari keamanan."
Di sisi lain, faktor-faktor seperti pelonggaran tingkat inflasi dan percepatan pertumbuhan PDB China menjadi 5,2 persen pada 2023 akan membentuk resistensi untuk emas di 2.075 dolar AS per ons (Rp 31 juta per ons).