REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman, mencemooh komentar mantan presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang mengkritik pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi terkait perlindungan terhadap hak-hak minoritas Muslim. Sitharaman menuduh Obama munafik.
Selama kunjungan kenegaraan Modi ke Amerika Serikat minggu lalu, Obama mengatakan kepada CNN bahwa masalah perlindungan minoritas Muslim di India yang mayoritas beragama Hindu layak diangkat dalam pertemuannya dengan Presiden AS Joe Biden. Obama mengatakan, tanpa perlindungan semacam itu, maka kemungkinan kuat India akan tercerai berai.
Sitharaman mengatakan, dia terkejut Obama membuat pernyataan seperti itu ketika Modi mengunjungi AS untuk memperdalam hubungan bilateral kedua negara.
“Dia (Obama) mengomentari Muslim India, tapi dia telah membom negara-negara mayoritas Muslim dari Suriah hingga Yaman selama masa kepresidenannya,” kata Sitharaman, dilaporkan Aljazirah, Senin (26/6/2023).
Departemen Luar Negeri AS telah menyuarakan keprihatinan atas perlakuan terhadap Muslim dan agama minoritas lainnya di India di bawah partai nasionalis Hindu, yang dipimpin Modi. Pemerintah India mengeklaim telah memperlakukan semua warga negara secara setara.
Biden mengatakan, dia membahas hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi lainnya dengan Modi selama berdialog di Gedung Putih pekan lalu. Dalam konferensi bersama Biden, Modi membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas di bawah pemerintahannya.
“Kami telah membuktikan bahwa demokrasi dapat mewujudkannya. Ketika saya mengatakan terlepas dari kasta, kepercayaan, agama, jenis kelamin sama sekali tidak ada ruang untuk diskriminasi (dalam pemerintahan saya),” kata Modi kepada wartawan di Gedung Putih.
“Demokrasi adalah semangat kami. Demokrasi mengalir di nadi kita. Kami menjalani demokrasi, dan nenek moyang kami benar-benar telah mengungkapkan konsep ini dengan kata-kata," ujar Modi menambahkan.
Modi dituduh memimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa dengan mengesahkan undang-undang anti-Muslim dan menerapkan kebijakan anti-Muslim. Termasuk undang-undang tentang kewarganegaraan dan berakhirnya status khusus Kashmir yang dikelola India, yang menjadi satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India, pada 2019.
Kantor hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan undang-undang kewarganegaraan sebagai diskriminatif secara mendasar karena mengecualikan migran Muslim. Kritikus juga menyoroti undang-undang anti-konversi yang menantang hak kebebasan berkeyakinan yang dilindungi secara konstitusional.