REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namanya Ibrahim Richmond. Dari penampilannya, dia adalah pria paruh baya. Kulitnya hitam. Badannya berisi. Yang hebat adalah gaya berbicaranya: tegas dan enak didengar banyak orang.
Mungkin karena kemampuan orasi yang hebat itu membuatnya terkenal dan banyak orang di Afrika Selatan senang menjadi pengikutnya. Pidatonya meresap dan menenangkan hati.
Sehari-hari dia menghabiskan waktu sebagai pendeta. Selalu berada di gereja untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada jemaatnya.
Hingga suatu waktu dia bermimpi. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan seorang lelaki datang menyuruhnya mengenakan pakaian serba putih, pakaian mulai penutup kepala (peci) dan jubah berwarna putih.
Kemudian Richmond berkata “Maksud Anda saya harus masuk Islam?” Tak dijawab. Lelaki tadi pergi begitu saja. Kemudian dia terbangun. “Ah, ini hanya mimpi,” ujarnya.
Namun dalam tidur yang lain, mimpi yang sama terjadi lagi. Berkali-kali. Hingga kemudian, dalam mimpinya yang terakhir, lelaki tadi bersuara keras memerintahkannya mengenakan jubah serba putih. Dari situ Richmond yakin betul ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah isyarat yang kuat, hidayah dari Allah untuk menunjukkan keagungan-Nya, seperti mimpi Nabi Yusuf dan mimpi orang-orang shaleh.
Mimpi Richmond berbuah optimisme dan keimanan yang kuat dalam dirinya untuk memeluk Islam. Akhirnya dia bersyahadat.