Selasa 27 Jun 2023 17:33 WIB

UU Parpol Digugat, MK Diminta Batasi Masa Jabatan Ketua Umum Partai 

UU Parpol digugat agar MK membatasi masa jabatan ketua umum partai politik.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
(Ilustrasi) Sejumlah penari membawa lambang partai politik. UU Parpol digugat agar MK membatasi masa jabatan ketua umum partai politik.
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
(Ilustrasi) Sejumlah penari membawa lambang partai politik. UU Parpol digugat agar MK membatasi masa jabatan ketua umum partai politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua warga negara menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK membatasi masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) maksimal 10 tahun agar tidak lagi terjadi otoritarianisme dan dinasti politik. 

"Sebagaimana halnya kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh masa jabatan tertentu, demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah sepatutnya bagi siapa pun pemimpin partai politik untuk dibatasi masa jabatannya," demikian bunyi salah satu dalil dalam berkas permohonan mereka, dikutip dari situs resmi MK, Senin (26/6/2023). 

Baca Juga

Gugatan ini diajukan oleh warga Nias bernama Eliadi Hulu dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Saiful Salim. Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 23 ayat 1 UU Parpol yang berbunyi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART." 

Eliadi dan Saiful meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut menjadi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut." 

Mereka mendalilkan, tiadanya ketentuan yang membatasi masa jabatan ketum parpol terbukti telah menimbulkan ketum parpol yang menjabat dalam jangka waktu panjang. Contohnya adalah Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Umum PDIP selama 24 tahun. 

Menurut mereka, panjangnya masa jabatan ketum parpol mengakibatkan  penumpukan kekuasaan pada satu orang dan pada akhirnya memunculkan otoritarianisme. Mereka kembali menjadikan PDIP sebagai contoh. Dalam hal penentuan calon presiden dan wakil presiden PDIP, semuanya berada di tangan Megawati. 

Ihwal pembahasan rancangan undang-undang di DPR, fraksi PDIP juga harus mendapatkan izin Megawati. Hal ini diakui oleh anggota Fraksi PDIP DPR RI Bambang Wuryanto beberapa waktu lalu. 

Eliadi dan Saiful menambahkan, tiadanya ketentuan yang membatasi masa jabatan ketum parpol juga terbukti menimbulkan dinasti politik. "Ketua umum yang menjabat begitu lama cenderung akan membentuk dinasti kepengurusan, baik secara sadar maupun tidak sadar," kata mereka. 

Mereka menjadikan struktur kepengurusan PDIP dan Partai Demokrat sebagai contoh dinasti politik. Posisi Ketua Umum PDIP sudah diduduki Megawati selama hampir seperempat abad, sedangkan jabatan strategis Ketua DPP PDIP Bidang Politik diemban oleh putrinya, Puan Maharani. 

Sementara itu pada kasus Partai Demokrat, eks ketua umum Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Posisi Wakil Ketua Umum Demokrat diduki oleh Edhie Baskoro Yudhoyono yang merupakan anak kedua SBY. Adapun SBY sendiri kini menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. 

Permohonan Eliadi dan Saiful ini belum teregister secara resmi di MK. Permohonan mereka baru dicatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) per 21 Juni 2023 nomor 65/PUU/PAN.MK/AP3/06/2023.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement