Rabu 28 Jun 2023 05:17 WIB

Orba Rekrut Panji Gumilang Jadi Partner Intelijen 

Pemerintah Orba mengumpulkan mereka untuk menangani orang-orang yang anti-Pancasila.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agus Yulianto
Pengamat terorisme Al Chaidar.
Foto: Antara
Pengamat terorisme Al Chaidar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksistensi Panji Gumilang sebagai pemimpin Al Zaytun sekaligus NII KW 9, sejatinya tak lepas dari program defeksi pemerintah orde baru. Pengamat Terorisme, Al Chaidar, mengatakan, untuk menangani orang-orang yang anti terhadap Pancasila, pemerintah orde baru berupaya untuk mengumpulkan mereka yakni memiliki ide-ide mendirikan negara Islam. 

Namun demikian, program defeksi yang dikembangkan pemerintah justru menjadi berlebihan. Sehingga, kemudian program ini menjadi blunder dan itu bisa dilihat di dalam kasus Al Zaytun ini. 

Baca Juga

"Dalam Al Zaytun ini kita bisa melihat bagaimana kemudian Panji Gumilang yang sebenarnya bukanlah intelijen, dia adalah orang yang direkrut oleh intelijen untuk dijadikan salah satu partner, bukan sebagai agen, kalau agen itu orang yang berada di lingkaran intelijen itu sendiri. Sementara di luar luar lingkaran itu, tetapi mendapat proteksi dan dukungan yang sangat besar sangat masif itu disebut partner," kata Al Chaidar.

Untuk mengembangkan program defeksi tersebut, menurut Al Chaidar, Panji Gumilang yang menjadi partner intelijen harus dapat merebut faksi NII. Ia kemudian berhasil merebut faksi NII KW 9 yang pada awalnya dipimpin oleh Adah Jaelani.

"Kemudian dia (Panji Gumilang) merebut kekuasaan dari mereka mereka itu. Orang yang sudah tidak lagi menjabat itu  direkayasa sehingga mereka tertangkap, setelah tertangkap kepemimpinan jatuh kepada Abu Maarik alias Abu Toto (Panji Gumilang," katanya.

Sejak saat itu, Panji Gumilang merebut kendali sekitar 2 juta orang. Dengan itu, ia berupaya melakukan sentralisasi dan penguasaan dari pengumpulan dana zakat infak sedekah dan wakaf. 

Panji Gumilang pun memiliki banyak perencanaan mulai dari mendirikan pesantren yang semula rencananya bernama Al Firdaus yang kemudian menjadi Al Zaytun. Ia juga berencana mendirikan PAUD dan Universitas di berbagai daerah.

PG juga ingin memiliki bank, yang kemudian ia berhasil menguasai bank CIC. Selain itu PG juga memiliki ambisi untuk membuat pelabuhan dan memiliki kapal-kapal yang banyak. 

Untuk itu, menurut Al Chaidar dana dari 2 juta orang yang awalnya perbulan mencapai Rp 60-80 juta, oleh PG dilakukan pengumpulan dana setiap hari yang laporannya disampaikan setiap pekan dan bulanan. Hasilnya dari pengumpulan dana harian itu untuk bisa mencapai Rp 8-12 juta per harinya untuk tingkat kecamatan versi NII KW 9. Ia pun kemudian membuka pos-pos baru untuk meraup dana yang lebih besar dari orang-orang. 

"Gerakan ini kemudian tidak hanya dari ziswaf, ditambah lagi oleh Abu Toto ini pos tabungan harian, qirod dan lainnya," katanya.

Dari total dana yang masuk kata Al Chaidar hanya 10 persen yang digunakan PG untuk pembangunan Al Zaytun dan berbagai programnya yang lain, sementara 90 persen dikuasai Panji Gumilang dan turut mengalir ke para jenderal-jenderal Orde Baru.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement