REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Stempel petugas partai yang disematkan kepada capres PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, bukan saja potensial mengundang tafsir liar, juga rawan merontokan elektabilitasnya.
"Status petugas partai itu memang sulit untuk dicari maknanya yang positif. Konotasinya lebih dominan berkesan negatif. Dan inilah yang sangat potensial ditafsirkan secara liar oleh publik,” kata Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adrian Sopa, dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (28/6).
Apalagi, kata dia, jika dipahami dalam kontek negara demokrasi yang menekankan pada kedaulatan rakyat sesuai konstitusi. Tak ada pasal dalam konstitusi, presiden sebagai petugas partai.
"Saya hanya khawatir, stempel petugas partai itu pada saatnya akan menyandera capres terpilih nanti yang hanya taat kepada perintah partai, bukan kepada konstitusi. Mungkin, lebih tepat jika disebut petugas rakyat ketimbang petugas partai," tegasnya.
Dalam pandangan Sopa, jika stempel petugas partai ini terus dihidupkan, bukan saja berpotensi mengundang tafsir liar yang buruk, tapi juga potensial merontokan Ganjar sebagai capres.
"Kenapa? Karena cepat atau lambat, publik akan menafsirkan stempel petugas partai ini menjadi boneka partai, sebuah julukan yang sangat berkonotasi negatif. Namanya juga boneka, tak bisa apa-apa kecuali disetir" tandasnya.
Dalam kontek itulah, menurut Sopa, status sebagai petugas partai itu sebenarnya tidak terlalu menguntungkan buat Ganjar. Selain publik akan menganggap dia boneka partai, juga jika terpilih nanti dianggap hanya sebagai presiden milik PDIP, bukan milik seluruh rakyat.
Mendominasi Pencapresan
Sementara itu, peneliti Indikator Politik Indonesia (IPI) Bawono Kumoro, menilai Ketua Umum PDIP Megawati Soekanoputri tidak menginginkan kejadian pencapresan Jokowi terulang lagi pada Ganjar Pranowo. PDIP ingin menegaskan posisi Ganjar sebagai petugas partai, karena ingin mendominasi pencapresan Ganjar Pranowo.
“Bu Mega sepertinya belajar dari Pilpres 2014. Bu Megawsti tidak ingin muncul kekuatan-kekuatan politik (dari terbentuknya relawan-relawan) yang justru berpotensi mengganggu politik PDIP ke depan,” kata Bawono, Senin (26/6/2023).
Bawono melihat ajang peringatan bulan Bung Karno, yang diselenggarakan PDIP pun tidak dijadikan ajang untuk memasifkan sosialisasi Ganja sebagai capes milik semua elemen bangsa. Kegiatan itu bahkan cenderung lebih pada kegiatan intenal PDIP.
“Kehadiran Pak Jokowi pun di acara itu lebih pada posisinya sebagai anggota PDIP, bukan posisinya sebagai Presiden. Begitu pula Ganjar sebagai capres PDIP,” ungkap Bawono.
Megawati, menurut Bawono, seperti belajar dari Pemilu 2014. Ketika Jokowi diberikan ruang lebih luas....