Rabu 28 Jun 2023 14:30 WIB

Ini Dia Ancaman Australia untuk Facebook Hingga TikTok

Pemilik platform bakal diancam denda miiaran dolar oleh pemerintah Australia.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Natalia Endah Hapsari
Bendera Australia (ilustrasi)
Bendera Australia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Raksasa teknologi dapat menghadapi denda miliaran dolar karena gagal menangani disinformasi. Ini tercantum dalam usulan undang-undang terbaru di Australia, yang menurut pengawas akan membawa standar ‘wajib’ ini ke sektor yang sedikit lebih diatur.

Di bawah undang-undang yang diusulkan, pemilik platform seperti Facebook, Google, Twitter, TikTok, dan layanan podcasting, akan menghadapi hukuman senilai hingga lima persen dari omset global tahunan. Denda ini adalah yang paling tinggi di dunia.

Baca Juga

Otoritas Komunikasi dan Media Australia, serta pengawas pemerintah, akan diberikan berbagai kekuatan untuk memaksa perusahaan mencegah penyebaran informasi yang salah atau disinformasi, serta menghentikannya untuk dimonetisasi.

“Undang-undang tersebut, jika disahkan, akan memberi ACMA berbagai kekuatan baru untuk memaksa informasi dari platform digital, mendaftarkan dan menegakkan kode industri wajib serta membuat standar industri,” kata seorang juru bicara melansir dari Japan Today, Rabu (28/6/2023).

Pengawas tidak akan memiliki kekuatan untuk menghapus atau memberi sanksi pada individu. Tapi mereka justru bisa menghukum platform-nya karena gagal memantau dan memerangi konten yang palsu, menyesatkan, dan menipu, yang dapat menyebabkan ‘kerusakan serius’.

Australia juga berada di garis depan dalam upaya untuk mengatur platform digital. Australia mendorong perusahaan teknologi, untuk membuat sebagian besar ancaman yang tidak terpenuhi agar menarik diri dari pasar Australia.

RUU yang diusulkan ini berupaya untuk memperkuat Kode Praktik Australia tentang Disinformasi dan Misinformasi saat ini, yang diluncurkan pada 2021, tetapi hanya berdampak terbatas.

Raksasa teknologi termasuk Adobe, Apple, Facebook, Google, Microsoft, Redbubble, TikTok, dan Twitter, adalah penandatangan kode praktik ini.

Undang-undang yang direncanakan akan diumumkan pada Ahad ini, datang di tengah gelombang disinformasi di Australia mengenai referendum tentang hak-hak masyarakat adat akhir tahun ini.

Warga Australia ditanya apakah konstitusi harus mengakui Aborigin dan Kepulauan Selat Torres, serta apakah badan konsultatif pribumi harus dibentuk untuk mempertimbangkan undang-undang yang diusulkan.

Komisi Pemilihan Australia mengatakan telah menyaksikan peningkatan misinformasi dan penyalahgunaan online tentang proses referendum tersebut.

Pemerintah berpendapat bahwa mengatasi disinformasi sangat penting untuk menjaga keamanan online warga Australia, dan menjaga demokrasi negara tersebut.

“Mis dan disinformasi menebar perpecahan dalam masyarakat, merongrong kepercayaan, serta dapat mengancam kesehatan dan keselamatan publik,” kata Menteri Komunikasi Michelle Rowland. Para pemangku kepentingan memiliki waktu hingga Agustus untuk menawarkan pandangan mereka tentang undang-undang tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement