Kamis 29 Jun 2023 08:52 WIB

Khotbah Idul Adha di Masjid Istiqlal Bicara Soal Jihad dan Solidaritas

Idul adha dilangsungkan untuk mengingat Allah.

Rep: Eva Rianti/ Red: Erdy Nasrul
Jamaah usai melaksanakan ibadah shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jamaah usai melaksanakan ibadah shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan shalat Idul Adha 1444 Hijriyah berjalan di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat pada Kamis (29/6/2023). Dalam perayaan Hari Raya Kurban tahun ini, isi khutbah di masjid tersebut berupa refleksi semangat untuk meningkatkan solidaritas rasa kemanusiaan, terutama pada masyarakat kurang mampu dan disabilitas.

Pengkhutbah yang mengisi ceramah pada momen Idul Adha kali ini adalah Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali MA yang seorang dosen UIN Syarif Hidayatullah dam Khatib Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Tema khutbah yang dibawakan adalah Spirit Idul Adha Tingkatkan Solidaritas Kemanusiaan dan Kedermawanan.

Baca Juga

Hadir dalam kesempatan penyelenggaraan Shalat Idul Adha yakni Wakil Presiden RI KH. Ma'ruf Amin. Juga beberapa pejabat dari Kementerian Agama. Serta dihadiri oleh kemungkinan seratusan ribu jamaah Masjid Istiqlal.

Dalam kesempatan itu, pengkhutbah mengungkap ihwal isi ceramah Nabi Muhammad SAW pada saat haji wada' atau kerap dikenal sebagai haji perpisahan yang dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah 632 Masehi.

"Dalam khutbahnya, Nabi menyampaikan, wahai umat manusia dengarkanlah kata-kataku. Karena aku tidak tahu jangan-jangan di hari ini di tempat ini adalah hari terakhirku berjumpa dengan kalian," kata Abdul menirukan ucapan Nabi pada saat khutbah Haji Wada'.

Kemudian Nabi mengatakan, "wahai umat manusia, sesungguhnya darah-darah kalian, harta dan kehormatan kalian suci semoga kalian berjumpa dengan Tuhan seperti sucinya hari ini, seperti sucinya bulan ini, seperti sucinya tempat ini".

Kelanjutan dari isi ceramah tersebut yakni Nabi mengungkapkan bahwa manusia setara di mata Allah. Adapun yang membedakan adalah mengenai ketakwaannya.

"Nabi melanjutkan, sesungguhnya Tuhan kalian satu, nenek moyang kalian satu, seluruh kalian berasal dari Adam, Nabi Adam tercipta dari tanah. Adapun yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling takwa. Orang Arab dengan orang bukan Arab tidak lebih mulia satu dengan yang lainnya, yang berkulit gelap tidak lebih mulia dari yang berkulit terang, begitulah sebaliknya," jelas dia.

Lalu, Abdul melanjutkan, kelanjutan dari pidato Nabi Muhammad SAW adalah beliau menyampaikan bahwa beliau meninggalkan dua pusaka yang jika umat manusia berpegangteguh pada keduanya, maka tidak akan pernah tersesat. Kedua pusaka itu adalah Alquran dan sunah Rasulullah SAW.

"Nabi menegaskan tiga hal. Yang pertama pentingnya menegakkan hak asasi manusia (HAM), sehingga tidak dibenarkan pertumpahan darah manusia. Kedua, kesetaraan umat manusia yang satu tidak lebih mulia dari yang lain karena seluruh manusia setara di hadapan Allah yang memberikan ketakwaan. Ketiga, kezaliman harus ditolak, baik kezaliman pada diri sendiri apalagi pada orang lain," tutur dia.

Lebih lanjut, kezaliman itu pada zaman Nabi erat kaitannya dengan perbudakan. Nabi pun berpesan agar tidak ada kezaliman yang dilakukan terhadap budak karena bagaimanapun budak adalah manusia yang sejatinya setara di mata Allah.

"Beberapa hari sebelum Rasul wafat, Nabi menyampaikan wahai manusia, ingatlah Allah menyangkut agama dan amanat buat kalian, ingatlah Allah menyangkut budak-budak yang dimiliki oleh kalian. Berilah makan mereka seperti kamu makan, berilah pakaian mereka seperti pakaian yang kalian kenakan, jangan memberi beban di luar kemampuan mereka karena budak-budak itu adalah sama dengan kalian, darah daging dan makhluk seperti kalian," lanjut Abdul, masih menirukan isi ceramah Nabi Muhammad SAW.

"Barangsiapa yang zalim pada mereka, aku yang akan menjadi musuhnya dan Allah menjadi hakimnya," lanjut dia.

Abdul merefleksi isi ceramah Nabi Muhammad SAW tersebut, kaitannya dengan hari raya Idul Adha pada zaman ini. Dia menyebut mengenai makna dari momen penyembelihan hewan kurban, belajar dari kisah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s

"Kita tahu bahwa Nabi Ismail dibatalkan oleh Allah untuk disembelih, itu berarti berapapun tinggi semangat beragama tidak boleh mengorbankan nyawa manusia, maka bom bunuh diri sangat tidak dibenarkan. Jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah tapi hidup di Jalan Allah," ujar dia.

Dalam konsep jihad, manusia diperintahkan untuk saling berbagi. Terutama memberi kepada orang-orang yang tidak mampu atau dalam kondisi keterbatasan ataupun istimewa seperti disabilitas.

"Orang Islam, orang kafir, mereka tidak boleh dibiarkan kelaparan dan telanjang akibat kemiskinan," kata dia.

Menurut penuturan Abdul, untuk mencegah terjadinya kelaparan pada Hari Raya Idul Adha, Rasulullah selalu menyembelih dua ekor domba, satu untuk dirinya dan keluarganya dan satunya lagi untuk umat yang tidak mampu.

"Kurban secara harfiah bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mendekatkan diri pada manusia, terutama yang paling lemah, yakni fakir miskin. Sekarang budah sudak enggak ada tapi adanya orang miskin dan difabel fisik atau mental yang butuh perhatian," tutur dia.

"Daripada mempersempit urusan jihad hanya soal perang kenapa tidak diluaskan bahwa jihad adalah berbagi dengan fakir miskin dan difabel. Kaum difabel adalah makhluk seperti kita dan punya hak sama karena itu kita tidak boleh deskriminatif," lanjutnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement