Jumat 30 Jun 2023 18:08 WIB

IMF Sebut Larangan Ekspor Nikel Rugikan Indonesia, Bahlil: Keliru Besar

Bahlil angkat bicara terkait laporan IMF tentang Indonesia.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.
Foto: Republika/Iit Septyaningsih
Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia angkat bicara seusai diterbitkannya laporan International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional yang di dalamnya menentang kebijakan hilirisasi sumber daya mineral Indonesia. Bahlil menegaskan, penilaian yang diberikan IMF akan dampak negatif yang ditimbulkan dari hilirisasi tambang keliru besar. 

“IMF menentang kebijakan larangan ekspor, karena menurut analisa untung ruginya, itu menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara. Pemikiran dia keliru besar,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023). 

Baca Juga

Bahlil menyampaikan, penyetopan ekspor bahan mentah untuk demi hilirisasi di dalam negeri telah memberikan dampak besar bagi Indonesia. Khususnya untuk komoditas nikel yang pertama kali diterapkan sejak 1 Januari 2020. 

Tercatat, ekspor komoditas nikel periode 2017-2018 hanya sekitar 3,3 juta dolar As per tahun. Namun, begitu penyetopan dilakukan yang dilanjutkan hilirisasi menjadi barang setengah jadi, nilai ekspor naik 10 kali lipat menjadi 30 miliar dolar AS. 

Di sisi lain, hilirisasi nikel juga memperkecil defisit perdagangan RI-China. Tercatat pada 2016-2017 angka defisit dagang tembus 18 miliar dolar AS. Namun, dengan hilirisasi nikel  defisit dagang 2022 dengan China turun menjadi 1,5 miliar dolar AS dan surplus 1 miliar dolar AS untuk kuartal pertama 2023. 

“Jadi IMF katakan negara kita rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya,” ujarnya. 

Lebih lanjut, ia menambahkan, Indonesia juga berhasil mencapai target pendapatan negara dalam dua tahun terakhir. Hilirisasi membantu Indonesia untuk melakukan pemerataan pertumbuhan ekonomi, terutama pada wilayah yang menjadi penghasil utama komoditas tambang. 

Sulawesi Tengah kini mencatatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 22,3 persen, diikuti Maluku Utara 10,4 persen, dan Sulawesi Tenggara 6,7 persen. Seluruh pertumbuhan tersebut di atas dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada level lima persen. 

Bahlil mengakui, dalam konteks penerimaan negara untuk pajak ekspor komoditas memang berkurang. Namun, ketika hilirisasi dilakukan, pemerintah mengantongin pendapatan dari pajak penghasilan badan, pajak pertambahan nilai, PPh Pasal 21, serta penciptaan lapangan pekerjaan di dalam negeri. 

“Jadi, kalau ada siapa pun yang mencoba mengatakan hilirisasi sebuah tindakan yang merugikan negara, itu kita pertanyakan pemikirannya, ada apa dibalik itu. Harus kita lawan cara-cara seperti ini,” katanya. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement