Jumat 30 Jun 2023 21:33 WIB

Sejarah Penyebutan Hari Jumat

Hari Jumat adalah penghulunya hari.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Shalat Jumat di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Foto: Republika TV/Agung Sasongko
Shalat Jumat di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Hari Jumat adalah penghulunya hari. Hari Jumat lebih ahung di sisi Allah, lebih Agung daripada Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Pada hari Jumat, seluruh kebaikan dilipatgandakan pahalanya. 

Namun, bagaimana sejarah awal penyebutan Hari Jumat sendiri? 

Baca Juga

Hari diciptakan Allah SWT untuk mengetahui perjalanan hidup dan perhitungan masa. Allah telah menentukan jumlah hari ada tujuh yang terus berulang-ulang. Setiap kaum menyebut nama-nama hari itu sesuai dengan  korelasi masing-masing atau sesuai dengan kejadian-kejadian yang dianggap penting.

Dalam buku "Jum'at: Hari Bertabur Kebajikan" terbitan Al-Mawardi, Ustaz Saifuddin Aman menjelaskan, pada zaman jahiliyah sebelum Islam datang, nama-nama hari itu adalah hari ke-1 disebut "Awal". Kemudian, pada masa Islam disebut al Ahad (Ahad). 

Selanjutnya, hari kedua pada zaman jahiliyah disebut "Ahwan", kemudian pada masa Islam disebut "Al-Itsnain" (Senin). Hari ketiga disebut Jabar, yang kemudian di masa Islam disebut Al-Tsulatsa' (Selasa). 

Hari keempat pada zaman jahiliyah disebut "Dabar", yang kemudian di masa Islam disebut "Al-Arbi'a" (Rabu). Sedangkan hari kelima disebut "Mu'nas", dan kemudian pada masa Islam disebut "Al-Khamis" (Kamis). 

Lalu, hari keenam pada zaman jahiliyah disebut "Arubah", yang kemudian di masa Islam disebut dengan "Al-Jumu'ah" (Jumat). Sementara, hari ketujuh disebut dengan Syayyar, yang kemudian di masa Islam disebut dengan Al-Sabat (Sabtu). 

"Kalau kita cermati secara seksama penamaan hari ke-1 sampai hari kelima semuanya sangat sesuai dengan urutan angka atau disandarkan pada urutan bilangan," kata Ustaz Saifuddin.

Misalnya, hari ke-1 disebut dengan Ahad karena memang Ahad berarti bilangan satu atau pertama dalam bahasa Arab. Hari kedua disebut Itsnain karena memang isnain berarti dua dalam bahasa Arab. Hari ketiga juga disebut Tsulatsa' karena memang Tsulatsa' berarti tiga. 

Sama halnya dengan hari keempat disebut Arbi'a karena memang Arbi'a berarti empat. Sedangkan hari kelima disebut Khamis karena memang Khamis berarti lima. 

Jika disesuaikan dengan bilangan semestinya hari keenam disebut As-Sadas (enam) dan hari ketujuh disebut As-Saba' (tujuh). Tetapi mengapa hari keenam disebut al-Jum'ah dan hari ketujuh disebut As-Sabat? 

"Di sinilah mengapa hari yang keenam menjadi sangat istimewa bagi umat Islam dan hari ketujuh menjadi hari besar bagi umat Yahudi," jelas Ustaz Saifuddin. 

Dia menuturkan, Al-Jum'ah artinya berkumpul. Disebut al-Jum'ah karena memang pada hari itu semua umat Islam yang laki-laki diwajibkan untuk berkumpul di masjid menjalankan sholat Jumat. "Demikianlah hikmah penyebutan nama hari keenam yang dikemukakan oleh para ulama," katanya. 

Menurut riwayat, penyebutan nama Jumat pertama kali diucapkan oleh seorang pembesar keturunan Quraisy bernama Ka'ab bin Luayyi sebelum datang Islam. Abu Hilal Al-Askari menceritakan bahwa Ka'ab bin Luayyi mengumpulkan bangsa Quraisy dan memberikan pesan khusus kepada mereka. Dia berkata, 

"Sesungguhnya hari ini adalah hari Jumat.... Dengarkan baik-baik, kalian akan sadar! Belajarlah, kalian akan mengerti! Dalamilah, kalian akan paham! Malam itu gelap dan siang itu terang, bumi itu terhampar, langit itu tegak dan gunung itu pasak. Generasi zaman dulu sama seperti generasi zaman akhir, semuanya akan binasa. Maka sambunglah silaturrahim, peliharalah persaudaraan kalian, kembangkan harta kalian, baguskan amal kalian. Apakah kalian melihat ada orang yang hancur kemudian kembali hidup? Atau ada orang yang mati kemudian bangkit? Ketahuilah, hari akhir ada di depan kalian.  Persangkaan adalah perbedaan yang kalian katakan. Hiasilah tanah haram ini dan agungkan dia, peganglah erat-erat dan jangan berpecah belah menjaganya, akan datang untuk tanah haram ini bangunan agung dan akan keluar dari tanah haram ini seorang nabi yang sangat dimuliakan." 

Ka'ab bin Luayyi adalah pembesar Quraisy keturunan Bani Hasyim dan keturunan inilah nabi Muhammad dilahirkan. Ka'ab bin Luayyi jauh-jauh hari, berpuluh-puluh tahun sebelum lahir nabi Muhammad SAW sudah begitu yakin dan percaya akan adanya cahaya kebenaran yang mengubah dunia. Dia sudah membaca akan datangnya seorang nabi dari keturunannya. 

"Dan hari Jumat dijadikan sebagai kesempatan untuk memberikan pesan-pesan kepada kaumnya atau dalam istilah sekarang adalah majelis taklim," jelas Ustaz Saifuddin.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement