REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut langkah penanganan inflasi di Eropa tidak akan mudah, bahkan membutuhkan penanganan yang lebih lama dibandingkan perkiraan untuk mengejar target yang telah ditetapkan. Deputi Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath dalam Forum Bank Sentral Eropa mengatakan Eropa menghadapi tiga kenyataan yang tidak menyenangkan.
Pertama, inflasi yang sulit dikendalikan. Tantangan kedua, tekanan keuangan yang membuat keseimbangan harga dan stabilitas keuangan menjadi sulit. Kemudian ketiga, potensi menghadapi risiko inflasi yang tinggi.
“Saya merasa senang dengan tindakan yang diambil oleh ECB dan banyak bank sentral lainnya untuk mengatasi inflasi. Tetapi pertempuran ini tidak akan mudah,” ucap Gopinath, mengutip sambutan yang dilansir dari IMF dikutip Sabtu (1/7/2023).
Menurutnya untuk membawa inflasi Eropa kembali ke target membutuhkan waktu yang lama. Inflasi masih terlalu tinggi dan tetap tersebar luas di kawasan euro seperti banyak negara lain.
“Walaupun inflasi utama telah turun signifikan, inflasi dalam sektor jasa tetap tinggi. Kapan Inflasi diharapkan dapat kembali ke target bisa saja menjadi lebih lama,” ucapnya.
Sebagai gambaran, inflasi Eropa sebesar 6,1 persen per Mei 2023. Adapun kondisi ini sudah menurun dari rekor tertinggi sebesar 9,9 persen pada September 2022. Meskipun demikian, capaian inflasi ini masih jauh dari target bank sentral sebesar dua persen.
Menurutnya inflasi relatif tinggi di Eropa disebabkan relasi kuat pasar tenaga kerja, tabungan rumah tangga dan permintaan. Gopinath mengatakan bahwa walaupun ECB telah menaikan suku bunga 400 basis poin selama setahun terakhir, dampaknya relatif moderat ke perekonomian.
Gabungan pasar tenaga kerja yang ketat dengan tingkat tabungan rumah tangga yang masih kuat serta permintaan terpendam, menjadi alasan di balik ketahanan aktivitas bisnis yang tidak tiba-tiba mendingin meski bunga naik tajam. Adapun faktor lain walaupun terjadi kenaikan besar dalam suku bunga kebijakan nominal, kondisi keuangan mungkin masih belum cukup ketat sehingga dapat menghambat transmisi kebijakan moneter.
Alasan terakhir adalah pandemi mungkin telah menurunkan output dan produktivitas potensial, yang dapat menjelaskan sebagian dari tekanan inflasi yang meningkat. Maka itu, Gopinath mengatakan bahwa untuk memperhalus strategi kebijakan moneter perlu memerlukan penyesuaian alat-alat.
Menurutnya, biaya dan manfaat pelonggaran kuantitatif juga perlu dipertimbangkan ulang. “QE kemungkinan tetap menjadi alat penting jika bank sentral menghadapi situasi seperti periode pasca-krisis keuangan global, tingkat pengangguran tinggi dan inflasi rendah meskipun suku bunga kebijakan telah mencapai batas terendah,” ucapnya.
Namun, Gopinath menekankan dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan QE dan disertai dengan paduan ke depan.
Meskipun inflasi rendah mungkin sulit dapat dicapai, menurutnya hal ini bukanlah hal asing dan tindakan dari bank sentral dapat mewujudkannya.