REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Guru olahraga Benjamin Belaidi memegang spanduk bertuliskan "tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian" ketika dia ikut ambil bagian dalam aksi protes untuk mengenang remaja yang ditembak mati oleh polisi Prancis. Belaidi menilai polisi bertindak represif.
Belaidi tumbuh di salah satu lingkungan pinggiran berpenghasilan rendah di pinggiran Prancis. Belaidi bersama ribuan orang lainnya menggelar aksi damai untuk mengecam budaya kekerasan polisi dan rasisme sistemik dalam penegakan hukum di daerah pinggiran atau banlieues.
"Mereka bukan penjaga perdamaian, mereka bahkan tidak menegakkan ketertiban, mereka menegakkan kekacauan," kata Belaidi.
Polisi melakukan penembakan fatal terhadap seorang remaja keturunan Afrika Utara yang diidentifikasi sebagai Nahel M, di Kota Nanterre, pinggiran barat Paris, pada Selasa (27/6/2023) lalu. Insiden ini telah memicu kerusuhan yang meluas di seluruh Prancis.
Para perusuh telah membakar mobil dan angkutan umum. Mereka juga menargetkan balai kota, kantor polisi, dan sekolah, termasuk bangunan yang mewakili negara Prancis. Peristiwa tersebut telah menjerumuskan Presiden Emmanuel Macron ke dalam krisis kepemimpinan yang paling parah sejak protes Rompi Kuning pada 2018.
Bagi Mohamed Jakoubi kemarahan di jalanan dipicu oleh rasa ketidakadilan di banlieues, terutama setelah insiden kekerasan polisi terhadap komunitas etnis minoritas. Banyak di antara mereka yang mengalami kekerasan adalah imigran yang berasal dari negara bekas jajahan Prancis.
"Kami muak, kami juga orang Prancis. Kami menentang kekerasan, kami bukan sampah," kata Jakoubi yang telah menyaksikan kematian di tangan polisi dalam beberapa tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa mencela pengabaian pinggiran kota yang sudah berlangsung lama. Sementara kemarahan mereka terhadap polisi menunjukkan hilangnya kepercayaan antara komunitas mereka dan penegak hukum.
Mereka meneriakkan "keadilan untuk Nahel" dan "pembunuh polisi". Sebuah video yang dibagikan di media sosial menunjukkan, seorang petugas polisi menembak Nahel dari jarak dekat. Polisi mengambil tindakan ini karena Nahel melanggar lalu lintas dan berusaha lari dari kejaran polisi. Nahel meninggal karena luka-lukanya.
Petugas yang menembak Nahel menghadapi tuduhan pembunuhan sukarela. Polisi nasional dan polisi Paris tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters. Perwakilan dari serikat polisi Unite SGP, Yann Bastiere mengatakan, petugas yang menembak Nahel tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Petugas telah menghentikan remaja tersebut karena Nahel tidak mematuhi rambu-rambu di jalan raya.
"Ini bukan karena penampilan atau asal etnisnya. Polisi adalah cerminan masyarakat kita, multietnis, dan ada rasisme seperti di masyarakat," kata Bastiere.
Namun Bastiere mengakui runtuhnya kepercayaan masyarakat dengan polisi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memfokuskan tindakan polisi pada intervensi dan represi. Termasuk menghilangkan sumber daya dari pencegahan dan kepolisian lingkungan.
Karima Khatim, seorang politikus dari Blanc Mesnil, pinggiran timur laut Paris mengatakan, video penembakan polisi yang viral di media sosial menyelamatkan kehormatan Nahel. "Jika bukan karena kamera yang kami mainkan di profilnya, oh, dia berada di kantor polisi sebelumnya, oh, dia memiliki masa lalu yang cerdik, tidak, itu adalah seorang anak berusia 17 tahun yang dibunuh oleh polisi," ujar Khatim.
Seorang pembaca sejarah di Universitas Edinburgh, Emile Chabal, mengatakan, investasi negara telah meningkat di daerah-daerah miskin. Namun, tidak menutup kesenjangan dengan wilayah Prancis lainnya. Tingkat pengangguran, kemiskinan, dan keberhasilan sekolah tetap datar atau memburuk sejak 1990an. Investasi yang ditujukan untuk pembaharuan perkotaan digenjot menyusul kerusuhan tahun 2005 yang berlangsung selama tiga pekan.
"Namun ada perasaan bahwa ada semacam etalase atau bangunan mewah, trem yang mengilap, yang belum membawa hasil nyata atau mengatasi masalah struktural yang dihadapi penduduk sehari-hari misalnya rasisme, dan akses ke pasar tenaga kerja," ujar Chabal.
"Kami sedang melakukan sesuatu, tetapi kebencian tetap ada karena di lingkungan ini ada perasaan didiskriminasi," ujar Chabal menambahkan.