REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) angkat bicara atas kasus yang menimpa bocah SMP berinisial R (13 tahun). R menjadi terduga pelaku pembakar sekolah karena perundungan yang dialaminya.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar, merasa prihatin atas kejadian tersebut. Nahar mengingatkan pihak kepolisian agar menyelidiki kasus ini secara komprehensif. Termasuk menyasar alasan R membakar sekolahnya akibat luka lahir batin yang dirasakannya sebagai korban perundungan.
"Kami berharap polisi dapat mendalami kasus ini bukan hanya dampak kebakaran yang diakibatkan oleh anak sebagai pelaku, tapi juga mendalami apakah ada kekerasan fisik/psikis yang menyebabkan anak melakukan perbuatan tersebut," kata Nahar kepada Republika, Ahad (2/7/2023).
Nahar mempersilakan polisi memproses hukum R. Hanya saja, R tetap punya hak khusus sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sebagaimana diatur dalam UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Perlindungan hukum bagi ABH dapat diberikan perlakuan khusus pada hukum acara, ancaman pidananya yang berbeda dengan orang dewasa, pemenuhan hak anak dan mengutamakan keadilan restoratif.
"Kami tentu sangat berharap agar proses penegakan hukum dari kasus ini benar-benar memperhatikan hak-hak anak," ujar Nahar.
Nahar juga mewanti-wanti kasus ini bakal menyeret sejumlah anak. Mereka bakal menghadapi pemeriksaan polisi baik itu sebagai pelaku pembakaran, pelaku perundungan maupun saksi di dua perkara itu. Sehingga Nahar mendesak polisi menaati UU SPPA. Salah satunya menyoal korban dan pelaku wajib mendapatkan bantuan hukum.
"Kami juga menghimbau agar semua ABH dipenuhi hak-haknya baik anak sebagai pelaku, sebagai korban maupun sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 90 UU 11 Tahun 2012," ucap Nahar.
Sebelumnya, masyarakat dikagetkan oleh seorang peserta didik berinisal R di Jawa Tengah yang melakukan pembakaran sekolahnya sendiri. R melakukannya dengan motif sakit hati karena mengalami perundungan secara kontinu oleh kawan-kawannya, bahkan juga guru prakaryanya.
Dalam keterangannya, R mengaku pernah mengadu ke pihak sekolah atas pengeroyokan yang dialaminya, tapi pihak sekolah hanya memanggil para pelaku pengeroyokan dan tidak memberikan sanksi apapun.
Akibat tindakannya, R diancam dengan Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.