REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merangkum 54 kasus penyiksaan dalam kurun waktu Juni 2022 hingga Mei 2023. Data itu diperoleh berdasarkan pemantauan maupun advokasi yang dilakukan KontraS.
"Ke-54 peristiwa itu tergolong penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia," kata Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy dalam laporannya yang dikutip Republika pada Ahad (2/7/2023).
Dalam berbagai kasus tersebut, KontraS mencatat kepolisian menjadi aktor dominan pelaku tindak penyiksaan dengan 34 peristiwa, dilanjutkan dengan Institusi TNI dengan 10 peristiwa, 8 peristiwa dilakukan oleh sipir, dan 2 peristiwa dilakukan oleh Petugas Imigrasi.
"Dari 54 peristiwa tersebut mengakibatkan setidaknya terdapat 68 orang luka-luka, dan 18 lainnya tewas," ujar Andi.
KontraS juga memaparkan terdapat sejumlah faktor dan alasan peristiwa penyiksaan. Pertama, kultur kekerasan dan penyiksaan yang masih terus dinormalisasi oleh aparat penegak hukum menjadikan penyiksaan sebagai hal yang lumrah dan ditoleransi.
Kedua, tidak adanya penegakan hukum secara berkeadilan yang mengakibatkan banyaknya pelaku dapat melenggang dalam orkestra impunitas. Ketiga, minimnya pengawasan terhadap institusi yang memiliki kewenangan dan diskresi yang besar.
"Keempat, regulasi yang sepenuhnya belum memadai bagi korban dalam menagih pertanggungjawaban pelaku. Terlebih korban seringkali mendapatkan intimidasi ketika hendak menuntut hak-haknya," ujar Andi.
Oleh karena itu, KontraS memandang langkah ratifikasi pemerintah Indonesia dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dengan UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) tidak dibarengi dengan langkah serius menghapus segala bentuk praktik penyiksaan.
KontraS menilai komitmen negara sangat minim dalam upaya menghapuskan praktik penyiksaan yang terjadi. Sebagai contoh, di ranah regulasi Indonesia belum memiliki standar hukum yang memadai untuk menghapuskan segala bentuk praktik penyiksaan, mekanisme rigid terkait peradilan bagi kasus penyiksaan, serta mekanisme pemulihan bagi korban penyiksaan.
"Selama satu tahun terakhir, kami mengidentifikasi praktik penyiksaan masih saja terus terjadi disebabkan oleh kultur kekerasan dan impunitas yang langgeng dalam suatu institusi negara," ujar Andi.
Apalagi Andi mewanti-wanti data yang diperoleh oleh KontraS bisa saja berbeda dengan kenyataan di lapangan. Bahkan ada kemungkinan jumlah kasus penyiksaan lebih besar lagi yang tak terdata KontraS.
"Angka yang muncul tersebut tidak menutup kemungkinan adanya jumlah kasus riil yang lebih banyak," kata Andi.