REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Islam adalah agung, memberikan tuntunan dalam setiap lini kehidupan manusia, termasuk urusan domestik rumah tangga.
Risalah Nabi Muhammad SAW juga memberikan panduan terhadap hubungan intim suami istri. Menjalin hubungan seks antara suami istri merupakan suatu ibadah. Rasulullah SAW bahkan menyebutnya sebagai sedekah.
Nilai ibadah hubungan seks antara suami istri bahkan lebih tinggi ketimbang puasa sunah. Dalam hadits mutafaq alaih disebutkan:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ "Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedang suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya."
Pembicaraan tentang pendidikan seks yang wajar dan tidak berlebihan sungguh jamak. Khususnya, bagaimana cara suami memperlakukan istrinya ketika di ranjang. Rasulullah SAW bersabda:
لا يَقَعَنَّ أحدُكم على امرأتِه كما تَقَعُ البَهيمةُ وليكنْ بينهما رسولٌ قيل : وما الرسولُ ؟ قال : القُبْلةُ والكَلامُ
"Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu mencampuri istri seperti bercampurnya binatang. Tetapi, hendaklah ada pengantarnya." Ada yang bertanya, "Apakah pengantarnya itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ciuman dan perkataan." (HR Abu Manshur dan Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus dari hadits Anas).
Ada tiga perkara yang termasuk kelemahan laki-laki. Lantas, Nabi SAW menyebutkan, di antaranya, dia mendekati istrinya dan langsung mencampurinya sebelum mencumbu dan merayunya dan ia menyelesaikan hajatnya sebelum istrinya menyelesaikan hajatnya (merasa puas). Ini merupakan bagian dari hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan oleh Ad Dailami. Meski hadits ini daif, Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan, pernyataan ini sesuai dengan fitrah yang sehat.
Imam Al Ghazali lebih khusus menjelaskan, jikalau lelaki tidak egois dalam menggauli istrinya. Ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, dia hendaknya menunggu istrinya, sehingga si istri pun merasa puas.
Menurut Al Ghazali, saat keluarnya air (mani) itu kadang-kadang terlambat. Karena itu, ketika syahwatnya sedang bergelora, tetapi si suami sudah selesai maka hal ini bisa menyakitinya.
Pada waktu keluarnya air yang tidak sama itu dapat menimbulkan perkara di antara mereka. Apabila suami lebih dahulu mengeluarkan airnya (spermanya). Apabila waktu keluarnya air (sperma dan ovum) itu bersamaan, hal itu lebih nikmat baginya. Al Ghazali berpesan agar suami jangan sibuk memperhatikan kepentingan dirinya sendiri. Menurut dia, istri kadang merasa malu.
Ibnu Qayyim al Jauziy menjelaskan dalam kitabnya Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khairil Ibad. Menurut Ibnu Qayyim, petunjuk Rasulullah SAW dalam masalah jimak adalah yang paling sempurna.
Baca jug: Jalan Hidayah Mualaf Yusuf tak Terduga, Menjatuhkan Buku Biografi Rasulullah SAW di Toko
Dapat memelihara kesehatan, menyempurnakan kenikmatan, menyenangkan perasaan, dan mencapai tujuan.
Menurut Ibnu Qayyim, tujuan pokok jimak ada tiga perkara. Pertama, memelihara dan melestarikan keturunan hingga mencapai jumlah yang ditentukan Allah untuk tampil ke muka bumi.
Kedua, mengeluarkan air yang apabila ditahan akan dapat menimbulkan mudharat pada tubuh. Ketiga, menyalurkan nafsu seksual, memperoleh kenikmatan, dan bersenang-senang merasakan nikmat. Ini juga yang kelak diperoeh di surga.
Hal yang tak kalah penting, kata Ibnu Qayyim, jimak mampu menjaga pandangan, menahan nafsu, dan dapat mengendalikan diri dari perbuatan haram (zina). Manfaat ini juga yang diperoleh di dunia dan akhirat bagi suami dan istri.
Dari Anas radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ “Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam shalat.”