REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai Badan Legislasi (Baleg) DPR yang terkesan norak dalam penyusunan draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Diketahui dalam rapat pleno penetapannya, semua anggota Baleg yang hadir memperkenalkan diri kepada kepala desa dan perangkat desa yang hadir langsung di balkon Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen.
Ia menilai, penyusunan revisi UU Desa yang bersifat sangat terbuka tersebut bermuatan politis. Khususnya bagi para anggota DPR yang ingin kembali maju dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
"Jadi revisi UU Desa ini intinya bicara tentang bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan lebih lama lagi. Anggota DPR dan Parpol mau memperpanjang periode jabatan dan kekuasaan melalui pemilu," ujar Lucius saat dihubungi, Selasa (4/7/2023).
Revisi tersebut dilakukan DPR bukan karena adanya kebutuhan mendesak dari unsur kepala desa dan aparat perangkat desa. Melainkan, lebih kepada adanya keinginan legislator dan partai politik di parlemen yang berharap bisa meraih simpati kepala desa dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
"Jadi DPR yang punya keinginan untuk didukung oleh kepala desa. Agar keinginan mereka direspons komitmen dari para kepala desa, DPR memutuskan pemberian bonus masa jabatan kepala desa yang diperpanjang menjadi sembilan tahun," ujar Lucius.
Bak gayung bersambut, usulan revisi itu didukung oleh kepala desa dan perangkat desa. Mulai dari masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun untuk satu periode dan dana desa sebesar 20 persen dari dana transfer daerah.
"Mana ada kepala desa yang mau menolak urusan memperpanjang masa jabatan sih? Wong untuk jadi kades mereka sudah berjuang mati-matian kok, perpanjangan masa jabatan tentu berkah tak terkira," ujar Lucius.