REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa di perguruan tinggi negeri menjadi polemik. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menilai, kampus harus mau membuka seluas-luasnya informasi dan ruang negosiasi.
"Harus ada transparansi dari kampus tentang kategori penerima dan membuka ruang negosiasi bagi mahasiswa dalam penentuan jumlah UKT," kata Fikri kepada Republika, Selasa (4/7/2023).
Fikri turut menanggapi adanya status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) dan otonomi yang didapat kampus-kampus mencari keuangan secara mandiri. Banyak yang merasa ini salah satu penyebab polemik UKT mahal.
Fikri menerangkan, sejatinya PTNBH dihadirkan agar kampus-kampus leluasa mencari dana agar tidak terkekang oleh kebijakan anggaran negara. Misal, lewat kerja sama industri dalam hasil-hasil riset dan publikasi ilmiah.
Namun, ia menyayangkan, yang terjadi kini malah ada keleluasaan bagi kampus-kampus berstatus PTNBH mencari dana bertumpu kepada uang masuk dari mahasiswa. Salah satunya dengan kampus-kampus membuka ujian masuk.
"Bahkan, kuota mahasiswa PTN semakin diperbanyak, sehingga merugikan PTS," ujar Fikri.
Polemik UKT mahal sendiri sebenarnya sudah sempat diprediksi pakar-pakar pendidikan sejak awal tahun lalu. Termasuk, ketika Permendikbud Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru pada akhirnya diterbitkan.
Terlebih, usai penangkapan Rektor Unila, Prof Karomani, atas kasus korupsi penerimaan mahasiswa baru (PMB) Jalur Mandiri. Karomani menerima suap sampai sekitar RP 5 miliar karena meluluskan calon mahasiswa.