REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Presiden BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, Aulia Thaariq Akbar, mengamini banyaknya mahasiswa yang mengeluhkan tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan setiap semesternya. Utamanya mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri.
Dicontohkan di FISIP Unair, UKT yang harus dibayarkan paling minimal Rp 6 juta. "Di Unair itu paling minimal kalau di FISIP itu Rp 6 juta. Harusnya sekalipun teman-teman yang daftar mandiri harusnya bisa disesuaikan (besaran UKT-nya)" kata pria yang akrab disapa Atta itu saat dihubungi Republika, Selasa (4/7/2023).
Atta mengatakan, pihak universitas memang menyediakan fasilitas banding UKT bagi mahasiswa yang merasa UKT yang dibebankan kepadanya terlalu tinggi. Sayangnya, kata dia, tidak semua banding yang diajukan dikabulkan pihak kampus.
Selain itu, ketika banding yang diajukan diterima pun, besarannya tidak permanen. "Minusnya banding harus dilakukan setiap semester, tidak permanen. Misal saya (UKT-nya) Rp 6 juta, mengajukan banding semester ini, turun jadi Rp 4,5 juta. Tapi semester depannya (banding) ditolak, atau nominalnya (pengurangan UKT) turun," ujarnya.
Maka dari itu, lanjut Atta, setiap pergantian semester BEM FISIP Unair membuka posko aduan untuk mengakomodir mahasiswa yang akan mengajukan banding UKT. Atta mengungkapkan, tahun ini, baru dua hari posko pengaduan dibuka saja, sudah ada 100 mahasiswa yang mendaftar untuk mengajukan banding UKT.
"Itu dua hari saja bisa 100 orang yang daftar. Sekarang udah 135 (orang) dan itu bisa nambah terus," kata Atta.
Atta pun berpendapat, tingginya nilai UKT tersebut lantaran perguruan tingg yang sudah memperoleh status badan hukum atau PTN-BH. Di mana kampus bisa menentukan sendiri besaran UKT yang harus dibayarkan mahasiswanya.
"Universitasnya dapat menentukan biaya UKT semaunya sendiri. Itu yang membuat UKT bisa dinaikkan," ujarnya.
Atta pun mengharapkan adanya evaluasi terkait sistem tersebut. Jika pun kampus tetap diberi wewenang untuk menentukan besaran UKT-nya sendiri, lanjut Atta, seharusnya kampus bisa menekan biaya UKT dan mengandalkan dana dari sumber lain untuk melakukan pembangunan.
"Kemarin Dirkeu Unair itu memberikan statemen bahwasanya sebenarnya pembangunan di Unair ini justru mayoritas bukan pakai (dana) UKT. Anggaran pembangunan Unair hanya 40 persen dari mahasiswa. Sisanya 60 persen itu dari pemasukan mandiri. Mungkin dalam arti bisa sponsor, hibah, dan sebagainya," kata dia.
"Artinya kan secara logika kampus itu mampu menghimpun dana untuk pembangunan tanpa mengandalkan UKT mahasiswa," jelasnya.