REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) VII di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada 10-18 Juli 2023. Anggaran dana yang digelontorkan untuk lomba baca kitab kuning ini cukup besar, yakni Rp 2,7 miliar.
“Hadiah ada, berbentuk uang, kemudian medali, tropi, insya Allah jumlahnya di atas kanwil. Secara keseluruhan Rp 2,7 miliar,” ujar Kepala Subdirektorat Pendidikan Alquran pada Ditjen PD Pontren Kemenag, Mahrus saat konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/7/2023)
Setiap kantor wilayah Kemenag di 34 provinsi Indonesia akan mengirimkan peserta sesuai dengan kategori lomba. Event akbar kalangan pesantren ini akan diikuti sebanyak 1.459 peserta, baik santri dan mahasantri Ma'had Aly.
“Secara resmi mereka diutus kantor kemenag provinsi. Masing-masing provinsi mengirimkan sesuai dengan kategori lomba yang diikuti, mulai dari marhalah ula, marhalah wustho, dan marhalah ulya,” ucap Mahrus.
Kegiatan ini mengangkat tema “Rekonstruksi Turos untuk Peradaban dan Kerukunan Indonesia”. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag Waryono Abdul Ghofur menjelaskan tema tersebut diangkat karena kitab kuning adalah warisan para ulama.
"Kenapa rekonstruksi terus? Karena kitab kuning itu adalah warisan para ulama, karya para ulama, yang kemudian terus direproduksi oleh ulama-ulama baru, dikembangkan, diberi syarah, tapi tentu dengan pemaknaan baru sesuai dengan konteks zaman," kata Waryono.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menjelaskan dalam mengkontekskan dengan zaman sekarang, misalnya Kementerian Agama telah mencanangkan 2022 sebagai tahun toleransi.
"Ini masih terus kita ingatkan karena sudah masuk tahun politik. Nah, ini bagaimana pesantren memberikan pembekalan dan pemodelan bahwa tahun politik jangan sampai menjadi faktor pemecah masyarakat yang memang secara demokratis tersedia berbagai pilihan," jelas Waryono.
Dia pun menegaskan orang pesantren tidak akan kaget dengan perbedaan. Karena, di dalam kitab-kitab pesantren tersebut seringkali ada ungkapan terkait persoalan itu ada berbagai macam pendapat.
"Jadi orang pesantren dan kiai itu biasa dengan khilafiyah. Gak kaget. Yang penting perbedaan itu tentu didasari dengan dalil-dali atau nash-nash yang kuat. Dan memang bukan tujuannya perbedaannya itu, tapi bagaimana kita menghargai perbedaan dan menjadi faktor bagaimana kita menyatu," kata Waryono.